BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanda bahaya kehamilan
harus dikenali dan terdeteksi sejak dini sehingga
dapat ditangani dengan benar karena setiap tanda bahaya kehamilan bisa
mengakibatkan komplikasi kehamilan.
Berdasarkan penilitian, telah
diakui saat ini bahwa setiap kehamilan dapat memiliki potensi dan membawa
risiko bagi ibu. WHO memperkirakan sekitar 15% dari seluruh wanita hamil akan
berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan kehamilannya dan dapat
mengancam jiwanya. Bidan sebagai pemberi pelayanan kebidanan akan menemukan
wanita hamil dengan komplikasi-komplikasi yang mungkin dapat mengancam jiwa.
Oleh karena itu, bidan
harus dapat mendeteksi sedini mungkin terhadap tanda-tanda bahaya pada ibu
hamil yang mungkin akan terjadi, karena setiap wanita hamil tersebut beresiko
mengalami komplikasi. Yang sudah barang tentu juga memerlukan kerjasama dari
para ibu-ibu dan keluarganya, yang dimana jika tanda-tanda bahaya ini tidak
dilaporkan atau tidak terdeteksi, dapat mengakibatkan kematian ibu.
Tanda bahaya kehamilan
adalah tanda - tanda yang mengindikasikan adanya bahaya yang dapat terjadi
selama kehamilan/periode antenatal, yang apabila tidak dilaporkan atau tidak
terdeteksi bisa menyebabkan kematian ibu (Pusdiknakes,2003).
Tanda-tanda bahaya
kehamilan adalah gejala yang menunjukkan bahwa ibu dan bayi dalam keadaan
bahaya.( Uswhaaja, 2009, p.3).
Angka kematian yang
tinggi setelah abad yang lalu umumnya mempunyai 3 sebab pokok : masih kurangnya
pengetahuan mengenai sebab musabab dan penanggulangan komplikasi-komplikasi
penting dalam kehamilan, persalinan, serta nifas, kurangnya pengertian dan
pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, dan kurang meratanya pelayanan
kebidanan yang baik bagi semua ibu hamil.(Winkjosastro, 2008, p.8).
Menurut Kusmiyati dkk,
2008, p.1, kehamilan merupakan hal yang fisiologis. Namun kehamilan yang normal
dapat berubah menjadi patologi. Salah satu asuhan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan untuk menapis adanya risiko ini yaitu melakukan pendeteksian dini adanya
komplikasi/penyakit yang mungkin terjadi selama hamil muda.
Kematian ibu menjadi
perhatian dunia internasional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
diseluruh dunia lebih dari 585.000 ibu meninggal tiap tahun saat hamil atau
bersalin. Artinya, setiap menit ada satu perempuan yang meninggal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
pengertian deteksi dini ?
2. Apa
saja tanda-tanda komplikasi ibu dan janin masa kehamilan lanjut?
3. Bagaimana mengetahui
adanya tanda-tanda kompliakasi ibu dan janin masa kehamilan lanjut?
4. Bagaimanaa penanganan
dalam menghadapi tanda-tanda komplikasi ibu dan janin masa kehamilan lanjut?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian
deteksi dini
2. Mengetahui tanda-tanda
komplikasi ibu dan janin masa kehamilan lanjut
3. Mengetahui cara
bagaimana mengetahui tanda-tanda komplikasi ibu dan janin masa kehamilan lanjut
4. Mengetahui penanganan
dalam menghadapi tanda-tanda komplikasi ibu dan janin masa kehamilan lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Plasenta Previa
A. Pengertian
Plasenta previa adalah
keadaan letak plasenta yang abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga
dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir (pada keadaan normal, plasenta
terletak dibagian fundus atau segmen atas uterus).
Plasenta previa adalah
keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat yang abnormal yaitu pada
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri
internum.
Plasenta previa adalah
plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau
seluruh ostium uteri internum.
B. Klasifikasi Plasenta
Previa
a. Plasenta Previa Totalis
jika seluruh pembukaan jalan lahir tertutup jaringan plasenta
b. Plasenta Previa
Parsialis
jika sebagian pembukaan jalan lahir tertutup jaringan plasenta
c. Plasenta Previa
Marginalis
jika tepi plasenta berada tepat pada tepi pembukaan jalan lahir
d. Plasenta Letak Rendah
jika plasenta terletak pada segmen bawah uterus, tetapi
tidak sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
C. Etiologi
a. Umur dan paritas
1. pada primigravida, umur
>35 tahun lebih sering dari pada umur <25 tahun
2. lebih sering pada
paritas tinggi dari pada paritas rendah.
b. Hipoplasia endometrium:
bila kawin dan hamil pada umur muda
c. Endometrium cacat pada
bekas persalinan berulang-ulang, bekas operasi, kuretase dan manual plasenta
d. Korpus luteum bereaksi
lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi
e. Tumor-tumor seperti
mioma uteri, polip endometrium
f. Kadang-kadang pada
malnutrisi.
D. Tanda dan gejala
plasenta previa
a. Perdarahan per vaginam,
warna merah segar
b. Bagian terbawah janin
belum masuk panggul
c. Adanya kelainan letak
janin
d. Tidak disertai gejala
nyeri (tanda khas plasenta previa)
e. Pada pemeriksaan jalan
lahir teraba jaringan plasenta (lunak)
f. Dapat disertai gawat janin
sampai kematian janin, tergantung beratnya.
E. Diagnosa dan Gambaran
Klinis Plasenta Previa
a. Anamnesis
a. perdarahan setelah
kehamilan 28 minggu
b. sifat perdarahannya
tanpa sebab (causeless), tanpa nyeri (painless) dan berulang (recurrent).
b. Inspeksi
a. dapat dilihat perdarahan
yang keluar pervaginam: banyak, sedikit, darah beku, dsb.
b. kalau sudah berdarah
banyak, maka ibu kelihatan pucat/anemis.
c. Palpasi abdomen
a. janin yang belum cukup
bulan, fundus uteri masih rendah
b. sering dijumpai
kesalahan letak janin
c. bagian terbawah janin
belum turun
d. dapat dirasakan suatu
bantalan di SBR
d. Pemeriksaan inspekulo
Dengan memakai speculum secara hati-hati, dilihat dari mana asal
perdarahan, apakah dari uterus, kelainan serviks, vaginam, varices pecah, dll
e. Pemeriksaan radioisotope
a. Plasentogravi jaringan
lunak (soft tissue placentografi) oleh Stevenson 1934 yaitu membuat foto dengan
sinar rotgen lemah untuk mencoba melokalisir plasenta
b. Citogravi : mula-mula
kandung kemih dikosongkan, lalu dimasukkan 40 cc larutan NaCl 12,5%, kepala
janin ditekan kearah PAP lalu dibuat foto. Bila jarak kepala dan kandung kemih
berselisih lebih dari 1 cm, terdapat kemungkinan plasenta previa.
c. Plasentogravi indirect,
yaitu membuat foto seri lateral dan anteroposterior yaitu ibu dalam posisi
berdiri atau duduk setengah berdiri
d. Arteiogravi: dengan
memasukkan zat kontras ke dalam arteri femoralis. Karena plasenta sangat kaya
akan pembuluh darah, maka ia akan banyak menyerap zat kontras ini akan terlihat
dalam foto dan juga lokasinya.
e. Amniogravi: dengan
memasukkan zat kontras ke dalam rongga amnion, lalu dilihat foto dan dimana
terdapat daerah kosong (di luar janin) di dalam rongga rahim
f. Ultrasonogravi
g. Pemeriksaan dalam
Bahaya pemeriksaan dalam:
1. dapat menyebabkan
perdarahan yang hebat
2. Infeksi
3. Menimbulkan his, dan kemudian
terjadilah partus prematurus.
Teknik dan persiapan pemeriksaan dalam
1. pasang infus dan
persiapkan donor darah
2. PD dilakukan di kamar
bedah
3. Dilakukan secara
hati-hati dan lembut
4. Jangan langsung masuk ke
dalam canalis servikalis tapi raba dulu bantalan antara jari dan kepala janin
pada forniks (uji forniks)
5. Bila ada darah beku,
keluarkan sedikit-sedikit dan pelan
Kegunaan PD dalam perdarahan antepartum
1. menegakan diagnose
2. menentukan jenis dan
klasifikasi plasenta previa
Indikasi PD pada perdarahan antepartum
1. perdarahan banyak,
>500 cc
2. perdarahan berulang
(recurrent)
3. perdarahan sekali,
banyak, HB < 8 g%
4. his ada dan janin
viable.
F. Pengaruh Plasenta Previa
Terhadap Kehamilan
a. bagian terbawah janin
tidak terfiksir ke dalam PAP
b. terjadi kesalahan letak
janin
c. partus prematurus karena
adanya rangsangan koagulum darah pada serviks.
G. Pengaruh Plasenta Previa
Terhadap Partus
a. letak janin yang tidak
normal menyebabkan partus akan menjadi patologik
b. bila pada plasenta
previa lateralis, ketuban pecah dapat terjadi prolaps funikulli
c. sering dijumpai inersia
primer
d. perdarahan
H. Komplikasi Plasenta
Previa
a. prolaps tali pusat
b. prolaps plasenta
c. plasenta melekat
d. perdarahan postpartum
e. infeksi karena perdaraha
yang banyak
f. bayi premature/lahir
mati
I. Penatalaksanaan
a. Pada perdarahan pertama,
prinsipnya, jika usia kehamilan belum optimal, kehamilan masih dapat
dipertahankan karena perdarahan pertama umumnya tidak berat dan dapat berhenti
dengan sendirinya. Pasien harus dirawat dengan istirahat baring total
dirumah sakit, dengan persiapan transfuse darah dan operasi sewaktu-waktu. Akan
tetapi jika pada perdarahan pertama itu telah dilakukan pemeriksaan dalam/
vaginal touch, kemungkinan besar akan terjadi perdarahan yang lebih berat sehingga
harus diterminasi
b. Cara persalinan
Factor-faktor yang menentukan sikap/tindakan persalinan mana yang
akan dipilih:
1. jenis plasenta previa
2. banyaknya perdarahan
3. KU ibu
4. Keadaan janin
5. Pembukaan jalan lahir
6. Paritas
7. Fasilitas rumah sakit
Setelah memperhatikan factor-faktor tersebut, ada 2 pilihan
persalinan:
1. persalinan pervaginan
a. amniotomi
Indikasi amniotomi pada plasenta previa:
a. plasenta previa lateralis/marginalis/letak
rendah, bila tidak ada pembukaan
b. pada primigravida dengan
plasenta previa lateralis/marginalis dengan pembukaan > 4 cm
c. plasenta previa
lateralis/marginalis dengan janin yang sudah meninggal
b. Keuntungan amniotomi
a. bagian terbawah janin
yang berguna sebagai tampon akan menekan plasenta yang berdarah dan perdarahan
akan berkurang/berhenti
b. partus berlangsung lebih
cepat
c. bagian plasenta yang
berdarah dapat bebas mengikuti cincin gerakan dan regangan SBR sehingga tidak
ada lagi plasenta yang lepas.
2. persalinan perabdominal
dengan SC
Indikasi SC pada plasenta previa
a. semua plasenta previa
sentralis, janin hidup atau meninggal
b. semua plasenta lateralis
posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol
c. semua plasenta previa
dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti dan plasenta previa dengan
panggul sempit, letak lintang.
J. Analisis jurnal Plasenta
Previa
Jenis Penelitian ini adalah
penelitian analitik dengan pendekatan Case Control, yang
dilakukan di RSU dr. Soedarso Pontianak pada tahun 2009-2011. Penelitian ini
mendapatkan persetujuan secara administrasi dan etik oleh Bagian Pendidkan dan
Penelitian RSU dr. Soedarso serta dari Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura. Kelompok sampel terdiri dari 85 sampel yang
memenuhi kriteria penelitian dari 109 kasus yang didiagnosis plasenta previa
pada interval waktu penelitian, dengan usia kehamilan ≥ 28 minggu. Diagnosis
plasenta previa dilakukan berdasarkan status klinis dan ultrasonografi di
bagian Obstetri dan Ginekologi RSU dr. Soedarso. Usia kehamilan dihitung dari
hari pertama haid terakhir yang tercatat dalam rekam medis. Rekam medis yang
tidak lengkap, serta sampel dengan riwayat merokok dan plasenta previa
dieksklusikan dari penelitian.
1. Pembahasan
Penelitian ini
mendapatkan bahwa plasenta previa lebih banyak terjadi pada usia < 35 tahun
dan usia memiliki hubungan yang bermakna dengan plasenta previa serta merupakan
faktor risiko dari plasenta previa (OR = 1,93), yang sejalan dengan hasil
penelitian dari Hung et al. Tahun 2007 (OR = 2,0-2,2)13,
Tabassum et al. tahun 2010 (OR =} 2)5 dan Widyastuti tahun 2007 (OR = 2,01)14. Dampak peningkatan
usia ibu
terutama ≥ 35 tahun
kemungkinan besar berhubungan dengan penuaan uterus, sehingga terjadi sklerosis
pembuluh darah arteri kecil dan arteriol miometrium, menyebabkan aliran darah
ke endometrium tidak merata sehingga plasenta tumbuh dengan luas permukaan yang
lebih besar, untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya plasenta previa. Riwayat seksio sesaria dilaporkan oleh
Tabassum et al. tahun 2010 meningkatkan risiko plasenta previa
sebesar 5,3 kali dan 1,6 kali pada penelitian Cromwell et al. tahun
2011, serta Getahun et al. tahun 2006 melaporkan peningkatan risiko
sebesar 2 kali.5,18,19 Studi pada penelitian ini mendapatkan tidak adanya
hubungan antara riwayat seksio sesaria
dan plasenta previa,
dengan OR sebesar 1,35. Odds Ratio yang didapatkan pada
penelitian ini lebih rendah dibandingkan OR yang dilaporkan pada penelitian
sebelumnya, yang diakibatkan perbedaan demografi penduduk yang menjadi subjek
penelitian karena perbedaan tempat penelitian dan perbedaan metodologi
penelitian dalam hal pemilihan kelompok kasus dan kontrol, begitu pula desain
penelitian yang
digunakan. Perubahan
patologis dapat terjadi pada miometrium dan endometrium uterus jika ada
jaringan parut bekas seksio sesaria yang mengakibatkan implantasi plasenta
menjadi rendah pada ostium uteri internum sehingga meningkatkan risiko plasenta
previa.
Hasil dari penelitian
ini mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya, baik yang dilaporkan oleh
Hung et al. tahun 2007 (OR = 1,3-3,0), Davood et al.
tahun 2008 (OR = 8,1) serta Alit dan Kornia tahun 2002 (OR = 3,5) ,
yaitu adanya hubungan
antara riwayat abortus dan plasenta previa serta riwayat abortus merupakan
faktor risiko plasenta previa dengan OR sebesar 2,34 untuk penelitian ini yang
nilainya lebih rendah dari hasil ketiga penelitian tersebut.8,13,15 Hal ini
dapat diakibatkan pertama karena perbedaan metodologi penelitian, baik dari
segi jumlah sampel penelitian maupun tempat penelitian dilakukan yang berkaitan
dengan perbedaan demografi subjek penelitiannya. Kedua, adanya perbedaan
tingkat pajanan faktor risiko, dalam hal ini berupa riwayat abortus, bisa
dilihat dari jumlah ibu hamil yang memiliki riwayat abortus jumlahnya lebih
sedikit dari yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Adanya riwayat abortus
pada kehamilan sebelumnya baik yang diinduksi maupun spontan berpengaruh
terhadap terjadinya plasenta previa. Mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh
tersebut adalah kerusakan ataupun terbentuknya jaringan parut pada endometrium
akibat dilakukannya kuretase uterus sehingga menganggu proses implantasi
plasenta di bagian fundus uteri. Jumlah kasus plasenta previa di RSU dr.
Soedarso pada tahun 2009 sampai dengan 2011 adalah 109 kasus dari 5406
persalinan, dengan persentase 2,02%. Usia maternal, paritas, riwayat seksio
sesaria dan riwayat abortus merupakan faktor risiko kejadian plasenta previa
pada ibu hamil di RSU dr. Soedarso tahun 2009 sampai dengan 2011.
2.2 Retensio Plasenta
A. Pengertian
Retensio plasenta adalah
apabila plasenta belum lahir setangah jam setelah janin lahir(Winkjosastro,
2010 ).
Retensio plasenta adalah
belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat
diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah
lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio
plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan
terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta
perkreta. (Manuaba (2006:176).
Berdasarkan pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa retensio plasenta ialah plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir, keadaan ini dapat diikuti
perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas
sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera.
Jenis-jenis retensio
plasenta:
a. Plasenta Adhesive :
Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan
mekanisme separasi fisiologis
b. Plasenta Akreta :
Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta Inkreta :
Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai
lapisan serosa dinding uterus.
d. Plasenta Prekreta :
Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa dinding uterus
hingga ke peritonium
e. Plasenta Inkarserata :
Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium
uteri. (Sarwono, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178).
Perdarahan hanya terjadi
pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah lepas dari dinding rahim.
Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang telah
lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali
pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih
dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual.
Retensio plasenta (Placental
Retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin
lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian
plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (Early
Postpartum Hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (Late
Postpartum Hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca
persalinan.
B. Prognosis
Tergantung
penanganan perdarahan.
C. Etiologi atau Penyebab
Menurut Wiknjosastro
(2007) sebab retensio plasenta dibagi menjadi 2 golongan ialah sebab
fungsional dan sebab patologi anatomik.
1. Sebab fungsional
a. His yang kurang kuat
(sebab utama)
b. Tempat melekatnya yang
kurang menguntungkan (contoh : di sudut tuba)
c. Ukuran plasenta terlalu
kecil
d. Lingkaran kontriksi pada
bagian bawah perut.
2. Sebab patologi anatomik
(perlekatan plasenta yang abnormal)
Plasenta belum terlepas
dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat
perlekatannya :
a. Plasenta adhesiva :
plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta : vili
khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke
miometrium.
c. Plasenta akreta : vili
khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili
khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
D. Tanda Dan Gejala
Gejala
|
Akreta parsial
|
Inkarserata
|
Akreta
|
Konsistensi uterus
|
Kenyal
|
Keras
|
Cukup
|
Tinggi fundus
|
Sepusat
|
2 jari bawah pusat
|
Sepusat
|
Bentuk uterus
|
Discoid
|
Agak globuler
|
Discoid
|
Perdarahan
|
Sedang – banyak
|
Sedang
|
Sedikit / tidak ada
|
Tali pusat
|
Terjulur sebagian
|
Terjulur
|
Tidak terjulur
|
Ostium uteri
|
Terbuka
|
Konstriksi
|
Terbuka
|
Pelepasan plasenta
|
Lepas sebagian
|
Sudah lepas
|
Melekat seluruhnya
|
Syok
|
Sering
|
Jarang
|
Jarang sekali, kecuali akibat
inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat
|
E. Akibat
Dapat
menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi
placenta inkarserata, dapat
terjadi polip placenta dan terjadi degenarasi ganas koriokarsinoma.
F. Analisis jurnal Retensio
Plasenta
Penelitian ini dilakukan
di RSUD Raden Mattaher Jambi pada bulan Desember 2011 sampai dengan Juli 2012.
1. Populasi dan sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan
subjek penelitian (Arikunto, 2010:130). Populasi dalam
penelitian ini adalah
seluruh ibu bersalin dengan retensio plasenta yang di rawat atau melahirkan.
Data yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang di peroleh dari medical record
RSUD Raden Mattaher Jambi tentang kasus retensio plasenta pada Tahun 2010 -
2011 dan karakteristik ibu bersalin yang mengalami retensio plasenta (umur,
paritas, interval persalinan dengan jarak pendek, dan riwayat persalinan yang
lalu). di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2010 - 2011 sebanyak 71 orang.
b. Sampel
Menurut Arikunto
(2006:131) sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti, maka
sampel dalam penelitian ini adalah total populasi.
c. Hasil yang diperoleh :
Pengambilan data pada
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 di RSUD
Raden Mattaher Jambi data yang diambil adalah data sekunder, dengan melakukan
pengambilan data secara langsung diMedical Record dengan jumlah
sampel 71 responden.
Berdasarkan hasil
penelitian tentang karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta di RSUD
Raden Mattaher Jambi pada Tahun 2010 - 2011, dapat dilihat bahwa umur yang
mayoritas mengalami retensio plasenta pada persalinan adalah umur < 20-35 Tahun
sebanyak 43 orang.
Hasil penelitian ini
sesuai dengan teori faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta adalah
usia maternal >35 Tahun. Faktor yang mempengaruhi retensio plasenta adalah
umur >35 Tahun, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dalam
kehamilan maupun persalinan (Sarwono, 2002).
Berdasarkan hasil
penelitian di atas ternyata teori tidak selalu sama dengan kenyataan, dimana
banyak resiko komplikasi yang akan di hadapi ibu hamil maupun ibu bersalin
dengan usia >35 Tahun karena fungsi organ tubuh ibu mulai menurun. Oleh
karena itu kehamilan pada usia tersebut sebaiknya dihindari dengan program
keluarga berencana (KB).
Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian bahwa interval kelahiran anak yang pendek (<2
Tahun) dapat mengakibatkan terjadinya retensio plasenta karena seringnya ibu
melahirkan dan dekatnya jarak kelahiran berpengaruh pada organ reproduksi
wanita yang belum siap proses lagi dimana uterus akan berkontaksi kurang baik
dan menjadi lemah. Pada interval kelahiran >3 Tahun di lihat dari hasil
penelitin di sebabkan penyakit ibu yang menyertai kehamilan dan mungkin juga di
karenakan faktor umur dan paritas (Manuaba,1999).
Berdasarkan hasil diatas
mayotitas kejadian retensio plasenta terdapat pada interval kelahiran anak
<2 Tahun yaitu sebanyak 39 orang dimana seorang ibu memerlukan 2-3 Tahun
jarak kelahiran anak agar keadaan uterus dan kondisi ibu pulih kembali dari
persalinan dan mampu mempersipkan diri untuk kehamilan berikutnya.
Berdasarkan hasil
penelitian di RSD Raden Mattaher Jambi, masih ada retensio plasenta yang
ditemukan dengan interval kelahiran di bawah 2 Tahun karena jarak kehamilan
terlalu pendek atau terlalu dekat. Untuk itu diperlukan perencanaan kehamilan
berikutnya/KB.
2.3 Preeklampsia Ringan
A. Pengertian Preeklamsi
Ringan
Preeklamsi adalah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul
karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke 3 pada
kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa (Ilmu
kebidanan, 2008).
Preeklamsi adalah
kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang
terdiri dari hipertensi, proteinuria dan edema, ibu tersebut tidak menunjukan
tanda- tanda kelainan vascular atau hipertensi sebelumnya (Muchtar R.,
1998).
Preeklamsi ringan adalah
timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur kehamilan
20 minggu atau segera setelah persalinan (Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiharjo, Fak UI Jakarta, 1998).
B. Etiologi
Penyebab preeklamsi dan
eklamsi secara pasti belum di ketahui. Teori yang banyak di kemukakan sebagai
penyebabnya adalah iskemia plasenta atau kurangnya sirkulasi O2 ke plasenta.
Faktor predisposisi atau
terjadinya preeklamsia dan eklampsia, antara lain:
1. Usia ekstrim ( 35 th)
Resiko terjadinya
Preeklampsia meningkat seiring dengan peningkatan usia (peningkatan resiko 1,3
per 5 tahun peningkatan usia) dan dengan interval antar kehamilan (1,5 per 5
tahun interval antara kehamilan pertama dan kedua). Resiko terjadinya
Preeklampsia pada wanita usia belasan terutama adalah karena lebih singkatnya.
Sedang pada wanita usia lanjut terutama karena makin tua usia makin berkurang
kemampuannya dalam mengatasi terjadinya respon inflamasi sistemik dan stress
regangan hemodinamik.
2. Riwayat Preeklampsia
pada kehamilan sebelumnya
riwayat Preeklampsia
pada kehamilan sebelumnya memberikan resiko sebesar 13,1 % untuk terjadinya
Preeklampsia pada kehamilan kedua dengan partner yang sama.
3. Riwayat keluarga yang
mengalami Preeklampsia
eklampsia dan
Preeklampsia memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara familial.
4. Penyakit yang mendasari
yaitu:
a. Hipertensi kronis dan
penyakit ginjal
b. Obesitas,resistensi
insulin dan diabetes
c. Gangguan thrombofilik
d. Faktor eksogen: Merokok,
Stress, tekanan psikososial yang berhubungan dengan pekerjaan, latihan
fisik,Infeksi saluran kemih.
C. Klasifikasi Preeklamsi
Meliputi:
1. Preeklamsi ringan
Tekanan darah sistolik 140
atau kenaikan 30 mm Hg dengan interval pemeriksaan 6 Jam dan diastoliknya
90-110 mm Hg 2 pengukuran berjarak 4 jam dan tanda lain proteinuria ++
2. Preeklamsi Berat
Tekanan diastoliknya
> 110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu dan tanda lain
proteinuria +++, oliguria, pandangan kabur nyeri abdoment dan edema paru.
3. Eklamsi
Kejang, tekanan
diastolik > 90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu proteinuria > ++ , koma
dan gejalanya sama denga preeklamsi berat
D. Patofisiologi
Pre-eklamsi ringan
jarang sekali menyebabkan kematian ibu. Oleh karena itu,
sebagian besar pemeriksaaan anatomik patologik berasal dari penderita eklampsi
yang meninggal. Pada penyelidikan akhir-akhir ini dengan biopsi hati dan ginjal
ternyata bahwa perubahan anatomi-patologik pada alat-alat itu pada pre-eklamsi
tidak banyak berbeda dari pada ditemukakan pada eklamsi. Perlu dikemukakan
disini bahwa tidak ada perubahan histopatologik khas pada pre-eklamsi dan
eklamsi. Perdarahan, infark, nerkosis ditemukan dalam berbagai alat tubuh.
E. Gambaran klinik
preeklamsi
a. Gejala subjektif
Pada Preeklampsia
didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan
kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah karena
perdarahan subkapsuer spasme areriol. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada
Preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklamsia akan timbul.
Tekanan darahpun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik
yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg dan
diastolic 15 mmHg atautekanan darah meningkat lebih dari 140/90 mmHg. Tekanan
darah pada Preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai
kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikarda,
takipnu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati,
hiperefleksia, perdarahan otak.
F. Pengobatan
untuk preeklamsia ringan
a. Istirahat total (
bed-rest )
Menyarankan untuk berbaring
pada sisi kiri saat beristirahat.halini
akan meningkatkan aliran darah dan mengurangi beban pembuluh darah besar.
b. Pemeriksaan hamil
Bila terjadi perubahan
perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ketempat pemeriksaan dan sering
melakukan pemeriksaan sebelum kelahiran. Tujuan kunjungan adalah deteksi dini
sehingga tidak perlu dirawat dan kondisi ibu-anak baik pada akhirnya.
c. Mengurangi makan garam
apabila berat badan bertambah atau edema.
d. Minum 8 gelas air per
hari
e. Mencegah kenaikan
peningkatan tekanan darah (berlanjut menjadi pre eklampsi berat),dengan
memberikan obat Nefidipin 1 tablet sublingual 500 ml grm Sedativa
ringan : Phenobarbital 3 x30mg.
G. Cara
mencegah preeklamsia
Sampai saat ini, tidak ada
cara pasti untuk mencegah preeklamsia. Ada faktor-faktor yang dapat
penyebab terjadinya tekanan darah tinggi yang dapat dikontrol, ada juga yang
tidak. Ikuti instruksi dokter mengenai diet dan olahraga diantaranya:
a. Gunakan sedikit garam
atau sama sekali tanpa garam pada makanan anda
b. Minum 6-8 gelas air
sehari
c. Jangan banyak makan
makanan yang digoreng dan junkfood
d. Olahraga yang cukup
Angkat kaki beberapa kali dalam sehari
e. Hindari minum alkohol
f. Hindari minuman yang
mengandung kafein Dokter mungkin akan menyarankan untuk minum obat dan makan
suplemen tambahan.
H. Analisis jurnal
Preeklamsia Ringan
Preeklampsia ringan bila disertai dengan
keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan
darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring telentang, atau
kenaikan sistdik 30 mmHg atau lebih cara pengukuran sekurang-urangnnya
pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
b. Edema
umum, kaki, jari tangan, dan muka : atau kehamilan berat badan 1 kg lebih atau
lebih perminggu.
c. Proteinuria
kwantitatif 0,3 gram atau lebih perliter : kwalitatif 1 + atau 2 + pada
urun kater atau midstream.
Adanya yang melaporkan
angka kejadian sebanyak 6% seluruh kehamilan, dan 12% pada kehamilan
pimigravida. Menurut beberapa penulis dan frekuensi dilaporkan sekitar 3-10%.
Lebih banyak dijumpai pada
primigravida dari pada multigravida, terutama primigravida usia muda.
Faktor-faktor predisposisi
untuk terjadinya preeklamsia adalah molahida tidosa, diabetes melitus,
kehamilan ganda, hidrops fetalis, obetasi, dan umur yang lebih dari 35 tahum.
2.4 Preeklampsia Berat
A. Pengertian preeklamsia berat
Preeklampsia adalah
timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah
usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah
preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul akibat kelainan neurologi.
Preeklampsia adalah
sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang
terdiri dari hipertensi, edema dan proteinuria tetapi tidak menjukkan
tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya
biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih.
Preeklampsia adalah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul
karena kehamilan.
Preeklampsi berat adalah
suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110
mmHg atau lebih disertai proteinuria dan atau disertai udema pada kehamilan 20
minggu atau lebih.
Preeklamsia berat adalah
suatu komplikasi kehamilan yang di tandai dengan timbulnya hipertensi 160/110
mmHg atau lebih di sertai proteiuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu
atau lebih.
B. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan
pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan darah
maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika
preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah
matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU
yang baik.
Pada preeklamsi berat,
perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan
pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera
direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera
diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi,
disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah
usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan
terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan
keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan
jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis
baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi
berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal.
Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada
penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan
janin, penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3
dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia
kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan.
Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan
serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34
minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin
sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu
yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien
harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.
Tujuan obyektif utama
penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya
komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus
diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan
darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan
paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg
atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan
diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri
rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata
dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan
diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi
inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah
hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu
setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak
menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping
seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin
(10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap
terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat
lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan
hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek
samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada hidralazin.
Bila ditemukan masalah
setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin intra
vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain
dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka
pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita
post partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih
diperlukan.
Pemberian cairan infus
dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan
cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama
persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan
eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme)
sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan
secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang
banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan
ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat
maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema
pulmonal atau edema otak.
Pada masa lalu, anestesi
dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan
eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat
blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena
blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta.
Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi
epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah
pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih
menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi
penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan
dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan
pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika
langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi
epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada
keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan
yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama persalinan
pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi
terhadap hipertensi.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
a. Usia kehamilan ≥ 38
minggu
b. Hitung trombosit <
100.000 sel/mm3
c. Kerusakan progresif
fungsi hepar
d. Kerusakan progresif
fungsi ginjal
e. Suspek solusio plasenta
f. Nyeri kepala hebat
persisten atau gangguan penglihatan
g. Nyeri epigastrium hebat
persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
a. IUGR berat
b. Hasil tes kesejahteraan
janin yang non reassuring
c. Oligohidramnion.
C. Analisis Preeklampsia
Berat
Angka kematian ibu di
Kabupaten Kendal dari tahun 2002 adalah 108 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
tahun 2004 mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu 162 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini bila dibandingkan dengan angka di Jawa Tengan tahun 2003 masih
dibawahnya yaitu 248 per 100.000 kelahiran hidup. Dari angka kematian tersebut
salah satunya adalah dikarenakan pre-eklamsi berat. analitik dengan menggunakan
case-control study dengan pendekatan retrospektif. Sebagai Populasi adalah
ibu-ibu primigravida yang melahirkan di RS Dokter Soewondo Kendal. Sampel
diambil dengan purposif sampling. Yaitu 49 kasus dan 49 responden sebagai
kontrol. Dengan menggunakan analisa Xª diperoleh hasil ada hubungan faktor usia
kehamilan ibu, riwayat pre-eklapsia sebelumnya, riwayat penyakti ginjal dan
hipertensi dengan kejadian pre-eklamsia berat selain itu ada hubungan yang
significan antara kepatuhan ibu hamil primigravida dalam melaksanakan nasehat
yang diberikan oleh tenaga kesehatan dengan kejadian Pre-Eklampsia Berat.
Dengan melihat data dan
fakta yang ada, seperti kasus kehamilan / persalinan eklampsia di Rumah Sakit
yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan kasus kehamilan/persalinan yang
lain, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pre-eklampsia/ eklampsia
di RS Dr. H. Soewondo Kendal.
Angka kematian ibu di
Kabupaten Kendal dari tahun 2002 adalah 108 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
tahun 2004 mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu 162 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini bila dibandingkan dengan angka di Jawa Tengan tahun 2003 masih
dibawahnya yaitu 248 per 100.000 kelahiran hidup. Dari angka kematian tersebut
salah satunya adalah dikarenakan pre-eklamsi berat.
Beberapa kasus
memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan. Pada stadium
akhir yang disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang. Jika eklampsia
tidak ditangani secara cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian
karena kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan
otak.
Dari hasil pendataan di
RS Soewondo Kendal tahun 2005 jumlah pasien persalinan sebanyak 773 orang
dengan kasus tertinggi adalah pre-eklamsi sebanyak 58 orang, perdarahan post
partum 44 orang, abortus iminen 12 orang, abortus incomplitus 53 orang dan
retensio placenta sebanyak 32 orang, sedangkan kematian sebanyak 4 orang
diantaranya disebabkan oleh eklampsia.
A. Gejala-gejala
Hipertensi biasanya
timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Bila peningkatan tekanan darah
tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester pertama atau kedua
awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita menderita hipertensi kronik.
Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua
dan ketiga, mungkin penderita menderita preeklampsia.
Peningkatan tekanan sistolik
sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan diastolik
sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya
140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih atau
dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose.
Edema ialah penimbunan
cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat
diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada kaki, jari-jari
tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa
berarti untuk penentuan diagnosa preeklampsia.
Kenaikan berat badan ½
kg setiap minggu dalam kehamilan masih diangap normal, tetapi bila kenaikan 1
kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam dalam sebulan pre-eklampsia harus
dicurigai Atau bila terjadi pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg tiap
minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda preeklampsia. Tambah berat
yang sekonyongkonyong ini disebabkan retensi air dalam jaringan dan kemudian
nampak oedema nampak dan edema tidak hilang dengan istirahat. Hal ini perlu
menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia. Disamping adanya
gejala yang nampak diatas pada keadaan yang lebih lanjut timbul gejala-gejala
subyektif yang membawa pasien ke dokter.
Gejala subyektif
tersebut ialah:
Sakit kepala yang keras
karena vasospasmus atau oedema otak, sakit di ulu hati karena regangan selaput
hati oleh haemorrhagia atau edema, atau sakit kerena perubahan pada lambung,
gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang pasien
buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae.
Perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi
1. Faktor predosposisi
Wanita hamil cenderung
dan mudah mengalami pre-eklampsia biala mempunyai faktor-faktor predisposing
adalah primigravida, Kehamilan ganda, Usia < 20 atau > 35 th, Riwayat
pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya, Riwayat dalam keluarga
pernah menderita pre-eklampsia, penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes
melitus yang sudah ada sebelum kehamilan, obesitas.
2. Faktor usia
Faktor usia berpengaruh
terhadap terjadinya preeklampsia/ eklampsia. Usia wanita remaja pada kehamilan
pertama atau nulipara umur belasan tahun dan manita hamil yang berusia diatas
35 tahun. Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada
kehamilan, 3 – 8 persen pasien terutama pada primigravida, pada kehamilan trimester
kedua.
Catatan statistik
menunjukkan dari seluruh incidence dunia, dari 5%-8% preeklampsia dari semua
kehamilan, terdapat 12% lebih dikarenakan olehprimigravidae. Faktor yang
mempengaruhi pre-eklampsia frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan
dengan multigravida, terutama primigravida muda.
3. Faktor sosial ekonomi :
Meskipun Chesley (1974)
tidak sependapat, beberapa ahli menyimpulkan bahwa wanita dengan keadaan sosial
ekonomi yang lebih baik akan lebih jarang menderita preeklampsia, bahkan
setelah faktor ras turut dipertimbangkan. Tanpa mempedulikan hal tersebut,
preeklampsia yang diderita oleh wanita dari kelaruga mampu tetap saja bisa
menjadi berat dan membahayakan nyawa seperti halnya eklampsia yang diderita
wanita remaja di daerah kumuh. Status sosial mempunyai risiko yang sama, tetapi
kelompok masyarakat yang miskin biasanya tidak mampu untuk membiayai perawatan
kesehatan sebagai mana mestinya. Bahkan orang miskin tidak percaya dan tidak
mau menggunakan fasilitas pelayanan medis walupun tersedia.
4. Faktor genetika
Terdapat bukti bahwa
pre-eklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering
ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia eklampsia Atau
mempunyai riwayat pre-eklampsia/eklampsia dalam keluarga.
5. Faktor ras dan genetik
merupakan unsur yang
penting karena mendukung insiden hipertensi kronis uang mendasari. Kehamilan
pada 5.622 nulipara yang melahirkan di Rumah Sakit Parkland dalam tahun 1986,
dan 18% wanita kulit putih, 20% wanita Hispanik serta 22% wanita kulit hitam
menderita hipertensi yang memperberat kehamilan (Cuningham dan Leveno, 1997).
Separuh lebih dari multipara dengan hipertensi juga mendrita proteinuria dan
karena menderita superimposed preeclampsia.
6. Riwayat hipertensi,
kegemukan dan stres.
Salah satu faktor
predisposi terjadinya pre-eklampsia atau eklampsia adalah adanya riwayat
hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau
hipertensi esensial. Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam
darah juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang
berada dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin
banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat
pula fungsi pemompaan jantung. Sehingga dapat menyumbangkan terjadinya
preeklampsia.
Dari hasil penelitian dapat disimpulah sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan
antara status bekerja dengan tidak bekerja untuk kejadian pre-eklamsia berat.
2. Kehamilan diatas usia 35
tahun sangat memungkinkan terjadi preeklamsia berat di banding kehamilan pada
usia 20-35 tahun serta kehamilan dengan usia < 20 tahun.
3. Tidak ada hubungan
antara status perkawinan dengan kejadian preeklampsia berat.
4. Ada hubungan antara
riwayat pre-eklampsia sebelumnya dengan kejadian kehamilan dengan pre-eklampsia
berat.
5. Ada hubungan antara
riwayat penyakit ginjal dan hipertensi dengan kejadian ibu hamil dengan
pre-eklampsia berat.
6. Ada hubungan antara
kwalitas pelayanan perawatan kehamilan dengan kejadian Kehamilan dengan
Pre-Eklampsia Berat.
7. Ada hubungan yang
significan antara kepatuhan ibu hamil primigravida dalam melaksanakan nasehat
yang diberikan oleh tenaga kesehatan dengan kejadian Pre-Eklampsia Berat.
2.5 Eklamsia
A. Pengertian
Eklampsi dalam bahasa
yunani ialah “halilintar” karena serangan kejang-kejang timbul tiba-tiba
seperti petir.
Eklampsi merupakan
kondisi lanjutan dari preeklampsi yang tidak teratasi dengan baik. Selain
mengalami gejala preeklampsi eklampsi merupakan penyakit akut dengan kejang dan
demam dalam wanita hamil dan wanita nifas, disertai dengan hipertensi, odem,
protein urine positif, eklampsi juga dapat menyebabkan koma atau bahkan
kematian baik sebelum, saat atau setelah melahirkan.
B. Etiologi Eklampsi
Tidak ada
kehamilan tanpa risiko. Pembagiannya, risiko rendah dan risiko tinggi.
Eklampsia merupakan komplikasi yang berat dan mengancam nyawa seseorang.
Tanda-tanda serangan eklampsia ada tapi perubahannya sangat cepat dan ditandai
dengan adanya kejang. “Sebelum kejang, ada tanda. Misalnya, ketegangan di
daerah otot muka. Tetapi, itu terjadi sekian detik sebelum kejang yang sifatnya
kaku dan lemas.
Sebagian besar eklampsia
adalah lanjutan perburukan, ada yang berat, ada juga yang ringan. Eklampsia
merupakan kumpulan gejala, yang utama tekanan darah tinggi dan adanya protein
dalam urin. Pada eklampsia ringan, tekanan darah 140/90 s.d. <
160/110 dan kadar protein semikuantitatif positif 2; eklampsia berat, tekanan
darah > 160/110 dan kadar protein semikuantitatif lebih dari positif 2.
“Lebih dari positif dua berarti kebocoran protein lebih banyak dan itu
menunjukkan tingkat kebocoran ginjal lebih parah dibandingkan eklampsia
ringan,”
Eklampsia selalu terjadi
pada ibu hamil. Kalau terjadi darah tinggi di luar kehamilan, bukan disebut
eklampsia tapi hipertensi atau penyakit lain seperti nefrotik syndrom.
“Karena, penyebab eklampsia adalah kehamilan itu sendiri,” Jika ibu hamil
mengalami darah tinggi sebelum umur kehamilan 20 minggu disebut hipertensi dan
kemungkinan ia menderita hipertensi sebelum hamil. Tetapi, kalau mengalami
darah tinggi pada usia kehamilan minimal 20 minggu atau lebih, kemungkinan
eklampsia,”
Ada teori yang mengatakan,
eklampsia disebabkan karena kekurangan nutrisi. Pada kelompok ibu-ibu yang mengalami kekurangan
nutrisi, kasus meningkat lebih tinggi. Tetapi lagi-lagi, tidak semua ibu yang
kekurangan nutrisi mengalami eklampsia. Bahkan, ada juga ibu-ibu dengan asupan
nutrisi memadai, namun mengalami eklampsia.
Kasus eklampsia juga
banyak terjadi pada ibu-ibu dengan kehamilan pertama dibandingkan ibu pada
kehamilan kedua atau ketiga. Hal itu diduga karena pengaruh sperma.
“Masalahnya, sperma dianggap benda asing. Sistem imun ibu bekerja untuk
melawannya,” Karena itu, dianjurkan pada pasangan yang baru menikah menunda
kehamilan enam bulan atau satu tahun agar tubuh ibu mengenal sperma ayah.
“Selain itu kan ada manfaat lain, bisa saling mengenal kepribadian, membangun
kebersamaan, dan mempersiapkan finansial keluarga yang baik lebih dulu,”
Selain itu, banyak kasus
preeklampsia terjadi pada wanita berusia muda dan hamil pada usia terlalu tua.
Misalnya, hamil di bawah usia 20 tahun atau di atas 35 tahun. Pada usai muda,
sistem imun tubuh belum bagus, sedangkan pada usia terlalu tua, penyakit mulai
muncul seperti pembuluh darah mulai menyempit, kelainan metabolik, diabetes,
gangguan ginjal, hipertensi. “Ini menyebabkan risiko pada ibu dan janin.
Eklampsia sangat membahayakan’’
Eklampsia bisa dicegah.
Peluang terjadinya eklampsia meningkat pada orang yang memunyai kelainan
pembuluh darah menetap, punya penyakit hipertensi kronis, penyakit diabetes,
kelainan pada ginjal, penyakit trombopili, atau pada kehamilan kembar dan
kehamilan anggur. “Karena ari-ari pada bayi kembar akan lebih besar daripada
kehamilan tunggal. Makin besar plasenta, makin besar peluang akar-akar plasenta
rusak,”
Meski demikian, pasien yang
tidak memunyai riwayat ini juga bisa mengalami eklampsia. “Kita tak pernah tahu
seseorang mengalami suatu kelainan atau tidak jika mereka tidak pernah
memeriksakan diri sebelumnya. Yang penting, siapkan kondisi ibu baik fisik,
mental, sosial dan ekonomi, edukasi yang baik, pengetahuan yang cukup sehingga
melalui kehamilan dengan baik,” katanya menganjurkan. Jika mengalami eklampsia,
segera ditangani dengan benar agar dapat memberikan proses penyembuhan yang
lebih baik.
C. Klasifikasi
dan Macam-macam Eklampsi
KlasifikasiMenurut saat terjadinya eklampsia kita mengenal
istilah:
1. Eklampsia ante partum
ialah eklampsi yang terjadi sebelum persalinan (paling sering setelah 20 minggu
kehamilan)
2. Eklampsia intrapartum
ialah eklampsia sewaktu persalinan.
3. Eklampsia postpartum,
eklampsia setelah persalinan.
D. Tanda dan Gejala
Eklampsi.
1. Gejala klinis Eklamsi
adalah sebagai berikut:
1. Terjadi pada kehamilan
20 minggu atau lebih
2. Terdapat tanda-tanda pre
eklamsi ( hipertensi, edema, proteinuri, sakit kepala yang berat, penglihatan
kabur, nyeri ulu hati, kegelisahan atu hiperefleksi)
3. Kejang-kejang atau koma
2. Kejang dalam eklamsi ada
4 tingkat, meliputi:
1. Tingkat awal atau aura
(invasi). Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat
(pandangan kosong) kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan dan
kekiri.
2. Stadium kejang
tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah dapat trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah dapat trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.
3. Stadium kejang
klonik
Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.
Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.
4. Stadium
koma
Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma.
Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma.
5. Kadang kadang disertai
dengan gangguan fungsi organ.
E. Komplikasi.
Pada Ibu:
1. CVA ( Cerebro Vascular
Accident )
2. Edema paru
3. Gagal ginjal
4. Gagal hepar
5. Gangguan fungsi adrenal
6. DIC ( Dissemined
Intrevasculer Coagulopaathy )
7. Payah jantung.
8. Lidah tergigit (kejang)
9. Merangsang persalinan
10. Gangguan pernafasan.
Pada Anak :
1. Prematuritas
2. Gawat janin
3. IUGR (Intra.Uterine
Growth Retardation)
4. Kematianjanin dalam
rahim.
F. Faktor predisposisi
Primigravida, kehamilan
ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops
fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau
eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih
sering dijumpai pada penderita preeklampsia dan eklampsia.
G. Organ-organ
yang mengalami perubahan akibat eklampsi.
1. Otak
Pada eklampsi, resistensi
pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada pembuluh darah otak. Edema yang
terjadi pada otak dapat menimbulkan kelainan serebral dan gangguan visus,
bahkan pada keadaan lanjut dapat terjadi perdarahan.
2. Plasenta
dan rahim.
Aliran darah menurun ke
plasenta dan menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada
penyakit eklampsi sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaannya
terhadap rangsangan, sehingga terjadi paertus prematurus.
3. Ginjal.
Filtrasi glomelurus
berkurang oleh karena aliran ke ginjal menurun. Hal ini menyebabakan filtrasi
natrium melalui glomelurus menurun, sebagai akibatnya terjadilah retensi garam
dan air. Filtasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal sehingga pada
keadaaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.
4. Paru-paru
Kematian ibu dalam masalah
eklampsi lebih sering disebabkan oleh edema paru yang meninbulkan drkompensasi
kordis. Bisa pula karena terjadinya aspirasi pnemonia, atau abses paru.
5. edema paru :
a. (Kardio genik)
Hipertensi > peningkatan afterload > payah jantung ventrikel kiri >
darah kembali ke pulmo > hipertensi pulmo > edema paru.
b. (Nonkardiogenik) sel
endotel pembuluh darah kapiler rusak > pengeluaran trobomboksan >
hipertensi > permebialaitas kapiler paru turun > edema.
6. Mata
Dapat dijumpai adanya
edema retina dan spasem pembuluh darah. Bila terdapat hal-hal tersebut, maka
harus dicurigai terjadinya eklampsi atau preeklampsi berat. Pada eklampsi
ablasio retina yang disebabkan edema intra-olu;er dan merupakan salah satu
indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menandakan
adanya eklampsi adalah ditemukanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
desebabkan oleh adanya perubahan pembulah darah dalam pusat penglihatan di
korteks serebri atau di dalam retina.
7. Keseimbangan air dan
elektrolit.
Pada preeklampsii berat
dan eklampsi , kadar gula darah naik sementara, asam laktat dan asam organic
lainya naik, sehingga cadangan alkali akan turun. Keadaan ini biasanya
disebabkan oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai, zat-zat organik
dioksidasi, dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik sehingga
terbentuk natrium bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat kembali
pulih normal.
Oleh beberapa penulis
atau ahli kadar asam urat dalam darah dipakai untuk menentukan arah preeklamsi
menjadi baik atau tidak selesai setelah diberikan penanganan.
H. Pencegahan
Mencegah timbulnya
eklampsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena sekai ibu mendapat
serangan, maka prognosis akan jauh lebih buruk. Pada umumnya eklampsi dapat
dicegah atau frekuensinya dapat diturunkan. Upaya-upaya untuk menurunkannya
adalah dengan:
a. Memberikan informasi dan
edukasi kepada masyarakat, bahwa eklampsi bukanlah suatu penyakit kemasukan
(magis), seperti banyak disangka oleh masyarakat awam.
b. Meningkatkan jumlah
poliklinik (balai) pemeriksaan ibu hamil serta mengusahakan agar semua ibu
hamil memeriksakan kehamilannya sejak hamil muda.
c. Pelayanan kebidanan
bermutu, yaitu pada tiap-tiap pemeriksaan kehamilan diamati tanda-tansa
preeklampsi dan mengobatinya sedini mungkin.
I. Penatalaksaan
Tujuan utama pengobatan
eklampsi adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri
kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengijinkan.
Pengawasan dan perawatan
yang intensif sangat penting bagi penanganan penderita eklampsi, sehingga ia
harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit diperlukan obat
penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya kejang, penderita dalam ha
ini dapat diberi diazepam 20 mg 1 M. selain itu, penderita harus disertai oleh
seorang tenaga yang terampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah
terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejang.
Tujuan pertama
pengobatan eklampsi adalah menghentikan kejangan, mengurangi vasovasmus, dan
meningkatkan dieresis. Pertolongan yang perlu diperhatikan jika timbul kejang
ialah mempertahankan jalan pernafasan bebas, menghindarkan tergigitnya lidah,
pemberian oksigen, dan menjaga agar penderita tidak mengalami trauma. Untuk
menjaga jangan sampai terjadi kejangan lagi yang selanjutnya.
Prinsip penatalaksanaan
:
1. Penderita eklampsi harus
dirawat inap di rumah sakit.
2. Pengangkutan ke rumah
sakit.
Sebelum dikirim, berikan obat penenang untuk mencegah serangan
kejang-kejang selama dalam perjalanan, yaitu pethidin 100 mg
atau luminal 200 mg atau morfin 10 mg.
3. Tujuan perawatan di
rumah sakit ialah menghentikan konvulsi, mengurangi vasospasme, meningkatkan
dieresis, mencegah infeksi, memberikan pengobatan yang cepat dan tepat, serta
melakukan terminasi kehamilan setelah 4 jam serangan kejang yang terakhir,
dengan tidak memperhitungkan tuanya kehamilan.
4. Sesampainya di rumah
sakit, pertolongan pertama adalah :
a. Membersihkan dan
melapangkan jalan pernapasan.
b. Menghindarkan lidah
tergigit dengan mennberikan tough spatel.
c. Pemberian
oksigen
d. Pemasangan infuse
dektrosa atauglukosa 10%,20%,40%.
e. Menjaga agar jangan
sampai terjadi trauma, serta dipasang kateter tetap(dauer catheter).
5. Observasi penderita
Observasi penderita
dilakukan di dalam kamar isolasi yang tenag, dengan lampu redup(tidak terang),
jauh dari kebisingan dan rangsangan . kemudian dibuat catatan setiap 30 menit
berisi tensi, nadi, respirasi, suhu badan. Reflex, dan dieresis. Bila
memungkinkan dilakukan funduskopi sekalli sehari. Juga dicatat tingkat
kesadaran danjumlah kejang yang terjadi. Pemberiaan cairan disesuaikan dengan
jumlah dieresis, pada umumnya 2 liter dalam 24 jam. Kadar protein urin
diperiksa dalam 24 jam kuantatif.
6. Regim-regim pengobatan :
a. Regim sufas magnesikus.
Kegunaan MgSO4 adalah
untuk mengurangi kepekaan syaraf pust agar dapat mencegah konvulsi, menurunkan
tekanan darah, menambah deuresis, kecuali bila ada anuria, dan untuk menurunkan
pernafasan yang cepat.
Dosis inisial yang
diberikan ialah 8 g dalam larutan 40 % secara IM ; selanjutnya tiap 6 jam 4 g,
dengan syarat, refleks patella masih (+), pernafasan 16 / lebih per menit,
diuresis harus melebihi 600 ml / hari ; selain IM, sulfas magnesicus dapat
diberikan secara intravena; dosis inisial yang diberikan adalah 4 g 40% MgSO4
dalam larutan 10 ml intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8 g IM dan selalu
disediakan kalsium glukonas 1 g dalam 10 ml sebagai antidotum.
b. Regim sodium pentotal.
Kerja pentotal sodium
adalah untuk menghentikan kejang dengan segera. Obat ini hanya diberikan di
rumah sakit, karena cukup berbahaya, dapat menghentikan nafas (apnea). Dosis
inisial suntikan intravena perlahan-lahan sodium pentotal 2,5% adalah sebanyak
0,2-0,3 gr. Dengan infus secara tetes (drips) .
c. Regim valium (diazepam).
Dengan dosis 40 mg dalam
500 cc glukosa 10% dengan tetesan 30 tetes per menit. Seterusnya diberikan
setiap 2 jam 10 mg dalam infuse atau suntikan i.m, sampai tidak ada kejang.
Obat ini cukup aman.
d. Regim litik koktil
(lytic cocktail)
Pethidin (100 mg) + chlorpromazine(50 mg) + promezathin (50 mg),
dilarutkan dalam glukosa 5 % 500 ml dan diberikan secara infus IV. Jumlah
tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari itu, tensi
dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila keadaan
sudah stabil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.
e. Regim stroganoff
Lama pengobatan ini adalah 19 jam, cara ini sekarang sudah jarang
dipakai.
7. Pemberian antibiotika
Untuk mencegah infeksi
diberikan antibiotika dosis tinggi setiap hari yaitu penisilin prokain 1.2-2,4
juta satuan.
8. Penanganan obtetrik
Langkah-langkah yang dapat diambil adalah :
a. Apabila pada
pemeriksaan, syarat-syarat untuk mengakhiri persalinan pervaginam dipenuhi maka
dilakukan persalinan tindakan dengan trauma yang minimal.
b. Apabila penderita sudah
inpartu pada fase aktif langsung dilakukan amniotomi selanjutnya diikuti sesuai
dengan kurva dari Friedman, bila ada kemacetan dilakukan seksio sesar.
c. Kala II harus
dipersingkat dengan ekstrasi vacuum atau forceps. Bila janin mati dilakukan
embriotomi.
d. Bila serviks masih
tertutup dan lancip (pada primi),serta kepala janin masih tinggi atau ada kesan
terdapat disproporsi sefalovelvik, atau ada indikasi obstetric lainnya, sebaiknya
dilakukan seksio sesarea(bila janin hidup). Anastesi yang dipakai local atau
umum dikonsultasikan dengan ahli anestesi.
e. Selain itu tindakan
seksio sesar dikerjakan pada keadaan-keadaan:
1. Penderita belum inpartu
adalah Fase laten dan gawat janin.
J. Analisis jurnal
Eklampsia
Dilaporkan suatu kasus
seorang perempuan umur 38 tahun, dalam kondisi hamil 34 minggu dengan gravida
3, para 1, abortus1, beralamat di Margotirto Kokap, masuk rumah sakit Dr.
Sardjito pada tanggal 14 Juli 2004, dirawat di bangsal obstetri dan ginekologi
dengan diagnosis preeklamsia dan sindrom HELLP parsial. Pasien dikonsulkan ke
bagian saraf dengan keluhan utama nyeri kepala, muntah, pandangan kabur dan
bingung.
Hari kedua postpartum
pasien mengalami kejang tonok-klonik yang melibatkan seluruh ekstremitas selama
3 menit. Sehari berikutnya pasien kembali mengalami kejang tonik-klonik umum
yang disertai dengan hilangnya kesadaran selama 5 menit. Kejang dapat
dihentikan setelah diberikan 5 mg diazepam intravena, dan 15 menit berikutnya
pasien mulai sadar kembali. Pasien kemudian diberikan fenitoin peroral dengan
dosis 2 x 100 mg, dan selama itu pasien tidak mengalami kejang. Selain itu
selama dirawat di bagian obstetrik dan ginekologi pasien juga mendapatkan
nifedipin peroral 3 x 10 mg untuk mengontrol hipertensinya. Pada hari ke enam
postpartum, pagi hari saat bangun tidur tiba-tiba pasien merasakan nyeri
kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan bingung. Nyeri kepala dirasakan
sekali saat kepala digerakkan.
A. Hasil Penelitian
Penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar kejang postpartum (93%) berhubungan dengan udem serebri
sebagai manifestasi encefalopati hipertensi pada eklamsia, dan hanya terdapat
0,01-0,05 % dari seluruh kehamilan yang merupakan stroke postpartum. Kejang,
hipertensi, proteinuria, dan gangguan fisual dapat terjadi baik pada eklamsia
pospartum maupun pada stroke postpartum sehingga dua kondisi tersebut sering
misdiagnosis.
Tidak terdapat simtom
patognomonik yang spesifik yang dapat memberikan gambaran adanya udem serebri.
Adanya nyeri kepala akut yang biasanya terjadi pada pagi hari dan meningkat
dengan pergerakan kepala, dengan atau tanpa muntah, disertai tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial yang difus dapat dicurigai adanya udem
serebri.Dengan demikian untuk menentukan kondisi neuropatologik yang mendasari
terjadinya kejang pada eklamsia perlu dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti
CTscan kepala atau MRI.
Dari
kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemberian antiudem yang cepat dan tepat
berdasarkan pemahaman patofisiologi udem serebri yang terjadi pada eklamsia
akan memperbaiki manifestasi klinis kelainan neurologi. Udem sitotoksik pada
pasien ini dapat diperbaiki dengan pemberian manitol dan magnesium sulfat,
sedangkan udem vasogenik dapat diperbaiki dengan pemberian nifedipin sebagai
obat antihipertensi. Selain itu udem serebri dapat pula diatasi dengan
pemberian oksigenasi.
2.6 Intrauterine Fetal Death
A. Definisi Intra Uterin
Fetal Death (IUFD)
Intra Uterin Fetal Death
(IUFD) adalah kematian janin dalam kehamilan sebelum terjadi proses persalinan
pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau BB janin lebih dari 1000 gram. (
Kamus istilah kebidanan).
Kematian janin dalam
kandungan adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam
kandungan. KJDK / IUFD sering dijumpai baik pada kehamilan dibawah 20 minggu /
sesudah 20 minggu.
IUFD adalah kematian
janin dalam intrauteri dengan BB janin 500 gram atau lebih / janin pada umur
kehamilan sekurang-kurangnya 20 minggu.
Kematian janin dalam
kandungan / IUFD adalah kehamilan yang terjadi saat usia kehamilan lebih dari
20 minggu dimana janin sudah mencapai ukuran 500 gram atau lebih.
Kehamilan janin dalam
rahim (IUFD) adalah kematian janin setelah 20 minggu kehamilan tetapi sebelum
permulaan persalinan.
B. Etiologi
Secara umum:
1. Perdarahan; plasenta
previa dan solusio placenta
2. Pre eklampsi dan
eklampsi
3. Penyakit-penyakit
kelainan darah
4. Penyakit-penyakit
infeksi dan penyakit menular
5. Penyakit-penyakit
saluran kencing; bakteriuria, peelonefritis,
6. glomerulonefritis dan
payah ginjal
7. Penyakit endokrin;
diabetes melitus, hipertiroid
8. Malnutrisi dan
sebagainya.
C. IUFD
1. Fetal, penyebab 25-40%
1. Anomali/malformasi
kongenital mayor : Neural tube defek, hidrops, hidrosefalus, kelainan jantung
congenital
2. Kelainan kromosom
termasuk penyakit bawaan. Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru
terdeteksi saat kematian sudah terjadi, melalui otopsi bayi. Jarang dilakukan
pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan. Selain biayanya mahal,
juga sangat berisiko. Karena harus mengambil air ketuban dari plasenta janin
sehingga berisiko besar janin terinfeksi, bahkan lahir prematur.
3. Kelainan kongenital
(bawaan) bayi
Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis,
yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam
rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat
berat akibat dari banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami
pembengkakan atau terjadi kelainan pada paru-parunya.
4. Janin yang hiperaktif
Gerakan janin yang berlebihan apalagi hanya pada satu arah saja-
bisa mengakibatkan tali pusat yang menghubungkan ibu dengan janin terpelintir.
Akibatnya, pembuluh darah yang mengalirkan suplai oksigen maupun nutrisi
melalui plasenta ke janin akan tersumbat. Tak hanya itu, tidak menutup
kemungkinan tali pusat tersebut bisa membentuk tali simpul yang mengakibatkan
janin menjadi sulit bergerak. Hingga saat ini kondisi tali pusat terpelintir
atau tersimpul tidak bisa terdeteksi. Sehingga, perlu diwaspadai bilamana ada
gejala yang tidak biasa saat hamil.
5. Infeksi janin oleh
bakteri dan virus.
2. Placental, penyebab
25-35%
1. Abruption
2. Kerusakan tali pusat
3. Infark plasenta
4. Infeksi plasenta dan
selaput ketuban
5. Intrapartum asphyxia
6. Plasenta Previa
7. Twin to twin transfusion
S
8. Chrioamnionitis
9. Perdarahan janin ke ibu
10. Solusio plasenta.
3. Maternal, penyebab 5-10%
1. Antiphospholipid
antibody
2. DM
3. Hipertensi
4. Trauma
5. Abnormal labor
6. Sepsis
7. Acidosis/ Hypoxia
8. Ruptur uterus
9. Postterm pregnancy
10. Obat-obat
11. Thrombophilia
12. Cyanotic heart disease
13. Epilepsy
14. Anemia berat
15. Kehamilan lewat waktu (postterm)
Kehamilan lebih dari 42
minggu. Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan mengalami penuaan
sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan kekurangan asupan nutrisi dan
oksigen. Cairan ketuban bisa berubah menjadi sangat kental dan hijau, akibatnya
cairan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi
melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis
jantung ke janin. Jika demikian, maka kehamilan harus segera dihentikan dengan
cara diinduksi. Itulah perlunya taksiran kehamilan pada awal kehamilan dan
akhir kehamilan melalui USG.
4. Sekitar 10 % kematian
janin tetap tidak dapat dijelaskan.Kesulitan dalam memperkirakan kausa kematian
janin tampaknya paling besar pada janin preterm.
D. Patofisiologi
Janin bisa juga mati di
dalam kandungan (IUD) karena beberapa factor antara lain gangguan gizi dan
anemia dalam kehamilan,hal tersebut menjadi berbahaya karena suplai makanan
yang di konsumsi ibu tidak mencukupi kebutuhan janin. Sehingga pertumbuhan
janin terhambat dan dapat mengakibatkan kematian. Begitu pula dengan anemia,
karena anemia adalah kejadian kekurangan FE maka jika ibu kekurangan Fe dampak
pada janin adalah irefersibel. Kerja organ – organ maupu aliran darah janin
tidak seimbang dengan pertumbuh janin ( IUGR).
E. Patologi
Janin yang meninggal
intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi. Kulitnya mengelupas dan
terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena absorbsi pigmen darah.
Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur. Tulang kranialnya sudah
longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengn yang lainnya.
Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga mengandung pigmen darah.
Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam waktu 24 jam dari kematian
janin. Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada IUFD dapat terjadi
perubahan-perubahan sebagai berikut:
a. Rigor mortis (tegang
mati)
Berlangsung 2 ½ jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas
sekali.
b. Stadium maserasi I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi
cairan jernih kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin
mati.
c. Stadium maserasi II
Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi
setelah 48 jam janin mati.
d. Stadium maserasi III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat
lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit.
F. Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis
Ibu tidak merasakan gerakan jnin dalam beberapa hari atau gerakan
janin sangat Berkurang. Ibu merasakan perutnya bertambah besar, bahkan
bertambah kecil atau kehamilan
b. tidak seperti biasanya.
1. Ibu belakangan ini
merasa perutnya sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti mau
melahirkan.
2. Penurunan berat badan
3. Perubahan pada payudara
atau nafsu makan
c. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
1. Tidak kelhiatan
gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada ibu yang
kurus
2. Penurunan atau
terhentinya peningkatan bobot berat badan ibu
3. Terhentinya perubahan
payudara
2. Palpasi
Tinggi fundus uteri
lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan ; tdak teraba gerakan-gerakan janin.
Dengan palpasi yang teliti dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala
janin.
3. Auskultasi
Baik memakai stetoskop
monoral maupun doptone tidak akan terdengan denyut jantung janin.
G. Analisis jurnal IUFD
Pada tanggal 24 Agustus
2012 datang seorang pasien, Ny. M, G3P2A0, 38 tahun, gravid 28 minggu ke RSUD
Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan utama perut terasa kencang sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak pernah merasa
perutnya kencang seperti ini sebelumnya. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, telah keluar air-air dan lendir dari liang kemaluannya. Lendir berwarna
bening, lengket, dan tidak ada darah. Pasien merasa tidak ada gerakan bayi
sejak satu minggu terakhir. Pasien merasa perutnya tidak bertambah besar.
Pasien juga merasa mules-mules seperti mau melahirkan sejak tadi pagi hari,
hilang timbul dan tidak teratur. Pasien melakukanantenatal care (ANC)
di Puskesmas 3 kali selama kehamilan, tidak teratur setiap bulan, terakhir pada
1 Agustus 2012 dan terdapat denyut jantung janin (DJJ), selama ANC dikatakan
tidak ada kelainan. Pasien tidak pernah dilakukan USG.
A. Pembahasan kasus
Untuk mendiagnosis IUFD
dari anamnesis biasanya didapatkan gerakan janin yang tidak ada, perut tidak
bertambah besar, bahkan mungkin mengecil (kehamilan tidak seperti biasanya),
perut sering menjadi keras, merasakan sakit seperti ingin melahirkan, dan
penurunan berat badan.
Penyebab IUFD pada
pasien ini bisa dikarenakan faktor maternal dan fetal. Berdasarkan anamnesis,
pasien ini tidak ada riwayat trauma, infeksi, dan alergi dalam kehamilannya
ini. Pasien juga mengaku tidak punya kebiasaan minum alkohol, merokok, dan
minum obat- obatan lama. Namun melihat usia ibu 38 tahun, dapat merupakan
faktor ibu yang terlalu tua saat kehamilan.
Faktor fetal belum dapat
kita singkirkan karena sebaiknya dilakukan pemeriksaan autopsi apakah terdapat
kelainan kongenital mayor pada janin. Pasien tidak memiliki binatang
peliharaan, makan daging setengah matang, yang menurut literatur dapat
menyebabkan infeksi toksoplasmosis pada janin. Anomali kromosom biasanya
terjadi pada ibu dengan usia diatas 40 tahun, dan dibutuhkan analisa kromosom.
Inkompatibilitas Rhesus juga sangat kecil kemungkinannya mengingat pasien dan
suaminya dari suku yang sama.
2.7 Ruptur Perineum
A. Pengertian Ruptur
Perineum
1. Ruptur Perineum adalah
robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan
menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis
tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin terlalu cepat. Robekan
perineum terjadi pada hampir semua primipara (Winkjosastro,2005).
2. Ruptur perineum adalah
robekan yang terjadi pada perineum yang biasanya disebabkan oleh trauma saat
persalinan (Maemunah, 2005).
3. Robekan perineum terjadi
pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan
berikutnya (Prawirohardjo,2007).
B. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sehingga terjadi robekan
1. Faktor
Predisposisi
Faktor penyebab ruptur
perineum diantaranya adalah faktor ibu, faktor janin, dan faktor persalinan
pervaginam. Diantara faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai beriut :
1. Faktor Ibu
a. Paritas
Menurut panduan
Pusdiknakes 2003, paritas adalah jumlah kehamilan yang mampu
menghasilkan janin hidup di luar rahim (lebih dari 28 minggu). Paritas
menunjukkan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas dan
telah dilahirkan, tanpa mengingat jumlah anaknya (Oxorn, 2003). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia paritas adalah keadaan kelahiran atau partus. Pada
primipara robekan perineum hampir selalu terjadi dan tidak jarang berulang pada
persalinan berikutnya (Sarwono, 2005).
b. Meneran
Secara fisiologis ibu
akan merasakan dorongan untuk meneran bila pembukaan sudah lengkap dan reflek
ferguson telah terjadi. Ibu harus di dukung untuk meneran dengan benar pada
saat ia merasakan dorongan dan memang ingin mengejang (Jhonson, 2004). Ibu
mungkin merasa dapat meneran secara lebih efektif pada posisi tertentu
(JHPIEGO, 2005). Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam memimpin ibu bersalin
melakukan meneran untuk mencegah terjadinya ruptur perineum, diantaranya :
1. Menganjurkan ibu untuk
meneran sesuai dengan dorongan alamiahnya selama kontraksi.
2. Tidak menganjurkan ibu
untuk menahan nafas pada saat meneran.
3. Mungkin ibu akan merasa
lebih mudah untuk meneran jika ibu berbaring miring atau setengah duduk,
menarik lutut ke arah ibu, dan menempelkan dagu ke dada.
4. Menganjurkan ibu untuk
tidak mengangkat bokong saat meneran.
5. Tidak melakukan dorongan
pada fundus untuk membantu kelahiran bayi. Dorongan ini dapat meningkatkan
resiko distosia bahu dan ruptur uteri.
6. Pencegahan ruptur
perineum dapat dilakukan saat bayi dilahirkan terutama saat kelahiran kepala
dan bahu.
2. Faktor Janin
a. Berat Badan Bayi Baru
lahir
Makrosomia adalah berat
janin pada waktu lahir lebih dari 4000 gram (Rayburn, 2001). Makrosomia
disertai dengan meningkatnya resiko trauma persalinan melalui vagina seperti
distosia bahu, kerusakan fleksus brakialis, patah tulang klavikula, dan
kerusakan jaringan lunak pada ibu seperti laserasi jalan lahir dan robekan pada
perineum (Rayburn, 2001).
b. Presentasi
Menurut kamus
kedokteran, presentasi adalah letak hubungan sumbu memanjang janin dengan sumbu
memanjang panggul ibu (Dorland,1998). Presentasi digunakan untuk menentukan
bagian yang ada di bagian bawah rahim yang dijumpai pada palpasi atau pada
pemeriksaan dalam.
Macam-macam presentasi
dapat dibedakan menjadi presentasi muka, presentasi dahi, dan presentasi
bokong.
a. Presentasi Muka
Presentasi muka atau
presentasi dahi letak janin memanjang, sikap extensi sempurna dengan diameter
pada waktu masuk panggul atau diameter submento bregmatika sebesar 9,5 cm.
Bagian terendahnya adalah bagian antara glabella dan dagu, sedang pada
presentasi dahi bagian terendahnya antara glabella dan bregma (Oxorn, 2003).
Sekitar 70% presentasi muka adalah dengan dagu di depan dan 30% posisi dagu di
belakang.
Keadaan yang menghambat
masuknya kepala dalam sikap flexi dapat menjadi penyebab pesentasi muka. Sikap
ekstensi memiliki hubungan dengan diproporsi kepala panggul dan merupakan
kombinasi yang serius, maka harus diperhitungkan kemungkinan panggul yang kecil
atau kepala yang besar. Presentasi muka menyebabkan persalinan lebih lama
dibanding presentasi kepala dengan UUK (Ubun-ubun Kecil) di depan, karena muka
merupakan pembuka servik yang jelek dan sikap ekstensi kurang menguntungkan.
Penundaan terjadi di
pintu atas panggul, tetapi setelah persalinan lebih maju semuanya akan berjalan
lancar. Ibu harus bekerja lebih keras, lebih merasakan nyeri, dan menderita
lebih banyak laserasi dari pada kedudukan normal. Karena persalinan lebih lama
dan rotasi yang sukar akan menyebabkan traumatik pada ibu maupun anaknya.
b. Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah
sikap ekstensi sebagian (pertengahan), hal ini berlawanan dengan presentasi
muka yang ekstensinya sempurna. Bagian terendahnya adalah daerah diantara margo
orbitalis dengan bregma dengan penunjukknya adalah dahi. Diameter bagian
terendah adalah diameter verticomentalis sebesar 13,5 cm, merupakan diameter
antero posterior kepala janin yang terpanjang (Oxorn, 2003).
Presentasi dahi primer
yang terjadi sebelum persalinan mulai jarang dijumpai, kebanyakan adalah
skunder yakni terjadi setelah persalinan dimulai. Bersifat sementara dan
kemudian kepala fleksi menjadi presentasi belakang kepala atau ekstensi menjadi
presentasi muka. Proses lewatnya dahi melalui panggul lebih lambat, lebih
berat, dan lebih traumatik pada ibu dibanding dengan presentasi lain. Robekan
perineum tidak dapat dihindari dan dapat meluas atas sampai fornices vagina
atau rektum, karena besarnya diameter yang harus melewati PBP (Pintu Bawah
Panggul).
c. Presentasi Bokong
Presentasi bokong
memiliki letak memanjang dengan kelainan dalam polaritas. Panggul janin
merupakan kutub bawah dengan penunjuknya adalah sacrum. Berdasarkan posisi
janin, presentasi bokong dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu presentasi
bokong sempurna, presentasi bokong murni, presentasi bokong kaki, dan
presentasi bokong lutut (Oxorn, 2003). Kesulitan pada persalinan bokong adalah
terdapat peningkatan resiko maternal.
Manipulasi secara manual
pada jalan lahir akan meningkatkan resiko infeksi pada ibu. Berbagai perasat
intra uteri, khususnya dengan segmen bawah uterus yang sudah tipis, atau
persalinan setelah coming head lewat servik yang belum berdilatasi lengkap,
dapat mengakibatkan ruptur uteri, laserasi serviks, ataupun keduanya. Tindakan
manipulasi tersebut dapat pula menyebabkan robekan perineum yang lebih dalam
(Cunningham, 2005).
3. Faktor Persalinan
Pervaginam
a. Vakum ekstrasi
Vakum ekstrasi adalah
suatu tindakan bantuan persalinan, janin dilahirkan dengan ekstrasi menggunakan
tekanan negatif dengan alat vacum yang dipasang di kepalanya (Mansjoer, 2002).
Waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih
lama daripada forsep (lebih dari 10 menit). Cara ini tidak dapat dipakai untuk
melahirkan anak dengan fetal distress (gawat janin). Komplikasi yang dapat
terjadi pada ibu adalah robekan pada serviks uteri dan robekan pada vagina dan
ruptur perineum. (Oxorn, 2003).
b. Ekstrasi Cunam/Forsep
Ekstrasi Cunam/Forsep
adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan cunam yang dipasang di
kepala janin (Mansjoer, 2002). Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu karena
tindakan ekstrasi forsep antara lain ruptur uteri, robekan portio, vagina,
ruptur perineum, syok, perdarahan post partum, pecahnya varices vagina (Oxorn,
2003).
c. Embriotomi
Embriotomi adalah
prosedur penyelesaian persalinan dengan jalan melakukan pengurangan volume atau
merubah struktur organ tertentu pada bayi dengan tujuan untuk memberi peluang
yang lebih besar untuk melahirkan keseluruhan tubuh bayi tersebut (Syaifudin,
2002). Komplikasi yang mungkin terjadi atara lain perlukaan vagina, perlukaan
vulva, ruptur perineum yang luas bila perforator meleset karena tidak ditekan
tegak lurus pada kepala janin atau karena tulang yang terlepas saat sendok
tidak dipasang pada muka janin, serta cedera saluran kemih/cerna, atonia uteri
dan infeksi ( Mansjoer, 2002).
d. Persalinan Presipitatus
Persalinan presipitatus
adalah persalinan yang berlangsung sangat cepat, berlangsung kurang dari 3 jam,
dapat disebabkan oleh abnormalitas kontraksi uterus dan rahim yang terlau kuat,
atau pada keadaan yang sangat jarang dijumpai, tidak adanya rasa nyeri pada
saat his sehingga ibu tidak menyadari adanya proses persalinan yang sangat kuat
(Cunningham, 2005). Sehingga sering petugas belum siap untuk menolong
persalinan dan ibu mengejan kuat tidak terkontrol, kepala janin terjadi
defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar kemungkinan ruptur
perineum (Mochtar, 1998). Menurut buku Acuan Asuhan Persalinan Normal (2008)
laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu
dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat
dan tidak terkendali.
4. Faktor Penolong
Persalinan
Penolong persalinan
adalah seseorang yang mampu dan berwenang dalam memberikan asuhan persalinan.
Pimpinan persalinan yang salah merupakan salah satu penyebab terjadinya ruptur
perineum, sehingga sangat diperlukan kerjasama dengan ibu dan penggunaan
perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala, bahu, dan seluruh
tubuh bayi untuk mencegah laserasi.
C. Klasifikasi Ruptur
Perineum
Menurut buku Acuan
Asuhan Persalinan Normal (2008), derajat ruptur perineum dapat dibagi menjadi
empat derajat, yaitu :
1. Ruptur perineum derajat
satu, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah:
a. Mukosa Vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum
2. Ruptur perineum derajat
dua, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :
a. Mukosa Vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum
d. Otot perineum
3. Ruptur perineum derajat
tiga, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :
a. Sebagaimana ruptur
derajat dua
b. Otot sfingter ani
4. Ruptur perineum derajat
empat, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :
a. Sebagaimana ruptur derajat
tiga
b. Dinding depan rectum
D. Bahaya dan Komplikasi
Ruptur Perineum
1. Perdarahan pada ruptur
perineum dapat menjadi hebat khususnya pada ruptur derajat dua dan tiga atau
jika ruptur meluas ke samping atau naik ke vulva mengenai clitoris.
2. Laserasi perineum dapat
dengan mudah terkontaminasi feses karena dekat dengan anus. Infeksi juga dapat
menjadi sebab luka tidak segera menyatu sehingga timbul jaringan parut.
E. Analisis jurnal Ruptur
Perineum
1. Penyebab Ruptur Perineum
Penyebab utama
terjadinya kematian ibu melahirkan biasanya karena perdarahan, eklamsi, atau
pre-eklamsi yaitu kejang dan infeksi. Tiga faktor ini terkait dengan
pemeliharaan kesehatan ibu saat hamil dan pelayanan saat persalinan (Moetmainnah,
2009). Perdarahan post partum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di
Indonesia. Peristiwa-peristiwa dalam bidang kebidanan yang dapat menimbulkan
perdarahan adalah gangguan pelepasan plasenta, atonia uteri post partum dan
ruptur jalan lahir. Jalan lahir menjadi penyebab kedua perdarahan setelah
atonia uteri yang terjadi pada hampir persalinan pertama dan tidak jarang pula
pada persalinan berikutnya. Luka-luka biasanya ringan tetapi kadang-kadang
terjadi juga luka yang luas dan berbahaya yang dapat menyebabkan perdarahan
banyak (Prawirohardjo, 1999).
Ruptur
perineum umumnya terjadi di garis tengah dan biasanya menjadi luas apabila
kepala janin lahir terlalu cepat. Ruptur perineum dibagi menjadi 4 (empat)
tingkat, tingkat pertama robekan hanya terjadi pada kulit perineum dan mukosa
vagina, tingkat kedua robekan terjadi pada dinding belakang vagina dan jaringan
ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis, robekan tingkat tiga
dari perineum sampai muskulus sfingter ani, sedangkan robekan tingkat empat
mengenai mukosa rektum (Prawirohardjo, 2006).
Ruptur Perineum dapat
terjadi karena adanya ruptur spontan maupun episiotomi. Ruptur spontan yaitu
luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan
tindakan perobekan atau disengaja. Ruptur perineum yang disengaja (episiotomi)
harus dilakukan atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku,
persalinan yang kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat baik forcep
ekstraksi maupun vacum ekstraksi. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas
indikasi, maka akan menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan
pada daerah perineum yang lebih berat.
2. Metode
Penelitian ini
dilaksanakan di BPS Ny. Alimah Somagede Bulan Januari 2009 – April 2010,
populasinya adalah seluruh ibu seluruh jumlah persalinan normal yang ada di BPS
Ny. Alimah Somagede bulan Januari 2009 – April 2010 dan populasinya sebanyak 80
ibu, teknik pengambilan sampel menggunakan total Sampling dan penelitian ini
merupakan jenis penelitian analitik. Cara pendekatannya menggunakan desain
retrospektif. Metode pengumpulan data menggunakan data sekunder dengan
instrumen penelitian menggunakan check-list.
3. Berdasarkan penelitian
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara berat badan lahir
bayi dengan kejadian ruptur perineum di BPS Ny. Alimah Somagede. Hal ini
menunjukkan jika berat badan lahir besar (>4000gr) maka kemungkinan terjadi
ruptur perineum semakin besar karena terjadi kesukaran yang ditimbulkan akibat
regangan dinding rahim oleh anak yang sangat besar, dapat timbul inersia uteri
dan kemungkinan perdarahan pascapartum akibat atonia uteri dan robekan jalan
lahir (Sastrawinata.dkk, 2003). Begitu juga sebaliknya jika berat badan bayi
lahir rendah (<2500gr) dapat terjadi ruptur perineum biasanya pada
primipara.
Bayi dengan berat badan
yang lebih dari normal dapat menimbulkan kesukaran pada saat persalinan karena
kepala besar atau kepala yang lebih keras tidak dapat memasuki pintu atas
panggul, atau karena bahu yang lebar sulit melalui rongga panggul. Kesulitan
melahirkan bahu tidak selalu dapat diduga sebelumnya. Bahu yang lebar selain
dijumpai pada janin besar juga dijumpai pada anensefalus. Apabila kepala sudah
lahir sedangkan bahu sulit dilahirkan, hendaknya dilakukan episitomi
mediolateral yang cukup luas, hidung serta mulut janin dibersihkan, kemudian
kepala ditarik kebawah secara hati-hati dengan kekuatan yang terukur.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bidan harus dapat
mendeteksi sedini mungkin terhadap tanda-tanda bahaya pada ibu hamil yang
mungkin akan terjadi, karena setiap wanita hamil tersebut beresiko mengalami
komplikasi. Yang sudah barang tentu juga memerlukan kerjasama dari para ibu-ibu
dan keluarganya, yang dimana jika tanda-tanda bahaya ini tidak dilaporkan atau
tidak terdeteksi, dapat mengakibatkan kematian ibu.
Tanda-tanda bahaya yang
harus diwaspadai selama kehamilan antara lain:Perdarahan, pervaginam,Sakit
kepala yang hebat, Penglihatan kabur,Bengkak pada muka dan
tangan, Keluar cairan pervaginam, Nyeri/ sakit
perut yang hebat,Gerakan janin tidak terasa.
Tanda-tanda bahaya pada
kehamilan adalah tanda-tanda yang terjadi pada seorang Ibu hamil yang merupakan
suatu pertanda telah terjadinya suatu masalah yang serius pada Ibu atau janin
yang dikandungnya. Tanda-tanda bahaya ini dapat terjadi pada awal kehamilan
(hamil muda) atau pada pertengahan atau pada akhir kehamilan (hamil tua).
3.2 Saran
1. Bagi mahasiswa:
Diharapkan makalah ini dapat menambah
pengetahuan mahasiswa dalam memberikan pelayanan kebidanan dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi petugas kesehatan
Diharapkan dengan makalah ini dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang kebidanan sehingga
dapat memaksimalkan kita untuk memberikan health education untuk mencegah
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Varney . 1997. Varney’s Midwifevery.
2. Bennet, V.R. Brown, L.K .1993. Myles
text book for midwives
3. Pusdiknakes : WHO: JHPIEGO. 2001. Buku
asuhan antenatal.
4. Saifuddin , Abdul Bari, dkk. 2002.
Panduan praktis pela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar