BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Etos kerja dalam arti luas
menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak
seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam
kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan
dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas
dari kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat
kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan
hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai
umat Islam selain diperintahkan untuk beribadah Allah memerintahkan untuk
bekerja (berusaha).
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist sudah
jelas tentang pekerjaan yang baik dan bagaimana kita memperoleh rezeki dengan
cara yang diridhai Allah SWT. Hal ini sangat penting sekali dibahas, karena
semua orang dunia ini pasti membutuhkan makanan, sandang maupun papan. Disini
pasti manusia berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja
untuk mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua
yang kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan Allah
SWT semata. Sebagai umatnya diwajibkan mengembangkannya dengan baik dan
hati-hati. Untuk itu Hadist tentang Etos Kerja ini sangat diperlukan demi
kelangsungan umat sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas maka pemakalah merumskan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini
antara lain sebagai berikut:
1. Apa Redaksi Hadist mengenai Etos
Kerja Seorang Muslim?
2. Bagaimana Penjelasan Mengenai Hadist
Etos Kerja?
3. Bagaimana Aspek – aspek pekerjaan
dalam Islam?
4. Bagaimana ciri –ciri etos kerja
dalam Islam?
5. Bagaimana Etika Kerja dalam Islam?
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Redaksi Hadis
حد
يث أ بي هريرة رضي ا الله عنه قل: قل رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم: لأن يحتطب
احدكم حز مة على ظهره خير من أن يسأل احدا فيعطيه او يمنعه
Abu hurairah r.a berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “Jika seseorang itu pergi mencari kayu, lalu di angkat seikat
kayu di atas punggungnya (yakni untuk di jual di pasar) maka itu lebih baik
baginya daripada minta kepada seseorang baik di beri atau di tolak” (H.R
Bukhari dan Muslim)
B.
Penjelasan Hadis tentang Etos Kerja
Sudah menjadi kewajiban manusia sebagai makhluk yang
memiliki banyak kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk berusaha
memenuhinya. Seorang muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia
dan akhirat. Tidaklah semata hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja,
melainkan harus memikirkan kepentingan kehidupannya di dunia. Untuk
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, wajiblah seorang muslim
untuk bekerja.
Bekerja
adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis,
maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Seseorang layak
untuk mendapatkan predikat yang terpuji, seperti potensial, aktif, dinamis,
produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu,
agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini, ia memerlukan ruh
(spirit). Untuk ini, al-Qur’ān diturunkan
sebagai spirit hidup, sekaligus sebagai nur (cahaya)
yang tak kunjung padam agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat. Dalam al-Qur’ān maupun
hadis, banyak ditemukan literatur yang memerintahkan seorang muslim untuk
bekerja dalam rangka memenuhi dan melengkapi kebutuhan duniawi. Salah satu
perintah Allah kepada umat-Nya untuk bekerja termaktub dalam Q.S.
at-Taubah/9:105 berikut ini.
Artinya:
“Dan
katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga
rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. at-Taubah/9: 105)
Q.S. at-Taubah/9:
105 menjelaskan, bahwa Allah Swt.
memerintahkan kepada kita untuk semangat dalam melakukan amal saleh
sebanyak-banyaknya. Allah Swt. akan melihat dan menilai amal-amal tersebut.
Pada akhirnya, seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt. dengan
membawa amal perbuatannya masing-masing. Mereka yang berbuat baik akan diberi
pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan
atas perbuatan yang telah mereka lakukan
selama hidup di dunia.
Sebutan lain dari ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation. Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek,
yaitu dunia dan akhirat. Namun, penekanan kepada akhiratitu lebih penting
daripada penekanan kepada dunia (dalam hal ini materi). Ayat di atas juga
menjelaskan bahwa Allah Swt. Memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah Swt.
pasti membalas semua yang telah kita kerjakan. Hal yang perlu diperhatikan
dalam ayat ini adalah penegasan Allah Swt. Bahwa motivasi atau niat bekerja itu
mestilah benar.
Umat Islam dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan
melakukan “tobat” saja, tetapi harus dibarengi dengan usaha-usaha untuk
melakukan perbuatan terpuji yang lainnya, seperti menunaikan zakat, membantu
orangorang yang membutuhkan pertolongan,
menyegerakan untuk mengerjakan ṡalat, saling menasihati teman dalam hal kebenaran dan kesabaran,
dan masih banyak lagi usaha-usaha lain yang sangat terpuji. Semua itu dilakukan
atas dasar taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. dan yakin bahwa Allah Swt.
pasti menyaksikan itu.
Ayat ini pun berisi
peringatan bahwa perbuatan mereka itu pun nantinya akan diperlihatkan pula
kepada rasul dan kaum muslimin lainnya kelak di hari kiamat. Dengan demikian,
akan terlihatlah kebajikan dan kejahatan yang mereka lakukan sesuai amal
perbuatannya. Bahkan, di dunia ini pun sudah sering kita saksikan, bagaimana
gambaran orang-orang yang berbuat jahat seperti pencuri, penipu, pemerkosa,
koruptor, dan lain sebagainya. Banyaknya berita tentang korupsi, bagaimana
koruptor dipertontonkan di ruang publik. Ini menandakan bahwa di dunia pun
perbuatan kita sudah bisa dipertontonkan. Apalagi kelak di akhirat yang pasti
sangat nyata dan tidak bisa ditutup-tutupi.
Artinya: “Dari Miqdam ra. dari Nabi saw.
beliau bersabda: “Tidak seorang pun yang makan lebih baik daripada makan hasil
usahanya sendiri. Sungguh Nabi Daud as. makan hasil usahanya.” (HR. Bukhari)
Etos kerja ialah suatu sikap jiwa
seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka
pekerjaaan itu akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang
harus diatasi, baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang
tinggi.
Ethos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan
masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta
sistem nilai yang diyakininya.
Dari kata etos ini dikenal pula kata
etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang
berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung
gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal
lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna
mungkin.
Etos kerja seorang muslim adalah
semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para
pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada
etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan
perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah
keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang
dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash
Shaad : 22)
1.
Aspek
Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi dua hal yaitu :
a.
Memenuhi
kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian
bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya
sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini diantaranya tercermin
dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي
الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن
يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair
bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau
seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu
ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa
sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan
cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka
hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu
pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat
Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh
kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam
beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun
langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga memberikan
contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan
sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya.
Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka
akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
b.
Memenuhi
kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim, hal
ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):”
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي
من حديث عبدالله ابن عمرو بن العاص.
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah
seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga
adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan
kemudian lingkungan yang lebih luas.
C. Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang
bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist
berikut :
عن أنس قال النبي صلى الله
عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة
إلا كان له به صدقة “
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah
seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia
atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR
Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali
pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat
aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam
harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal
jariyah.
1. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap
pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan,
bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati
hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud
penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist
berikut :
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة , فإن استطاع أن لا
تقوم حتى يغرسها فليغرسها ”
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw,
beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat
bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “
(HR Bukhari dan Muslim).
D.
Ciri – Ciri Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu,
ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak
keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara
lain :
1. Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau
menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap
pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara
individu maupun kelompok.
2.
Kemantapan atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
3. Kerja Keras,
Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam
diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang
didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni
mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap
pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi
sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala
sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi
serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang
Allah ridhai.
4. Berkompetisi dan
Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita
dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau
perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah
kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh karena dasar semangat dalam
kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal
shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau
mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
5. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan
dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan,
keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam.
Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada.
Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan
ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan
kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari
berbuat bohong atau menipu
6. Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan
ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin
dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab
terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum,
dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji
adalah bagian dari dasar pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat
tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain
dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab
moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan
yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas
suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
7. Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam
keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah
merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu
akan menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan
sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau
lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus
akan mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah
kepada hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
8.
Percaya
diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan
kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah
akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu
mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki
yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri
sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha
pekerjaan.
9. Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta
dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah
tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan
mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak
pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf
(kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan
untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang
dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan
sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang
dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya
hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan
berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak
bermanfaat.
E. Etika Kerja dalam Islam
Dalam memilih seseorang ketika akan
diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat
dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa
mengajak mereka agar itqon dalam bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan
ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang
diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Pandangan Islam tentang pekerjaan
perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang
amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat
pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah
bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang
diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu
diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan
dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada
firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
Keterkaitan ayat-ayat di atas
memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk
dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa
dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini
bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh
karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan
siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah
atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah
SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil
pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap
baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu,
merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai
komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping
itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja
menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.[7]
Adapun hal-hal yang penting tentang
etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan
menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah
yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya
pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR
Hambali)
2. Berusaha dengan cara yang halal
dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
(al-Baqarah: 172)
3. Dilarang memaksakan seseorang,
alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
4. Islam tidak membolehkan pekerjaan
yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan
hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5. Professionalisme yaitu kemampuan
untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian.
Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta
bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa
professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga
menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen
serta kerusakan alat-alat produksi[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etos kerja merupakan semangat untuk
bekerja. Bekerja itu sendiri merupakan melakukan usaha kegiatan untuk mencapai
tujuan. Adapun hadist mengenai etos kerja diantaranya: Hadist mengenai
pekerjaan yang paling baik, larangan meminta-minta. Adapun pekerjaan yang paling
baik adalah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan apabila
berdagang ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang kurang disukai
Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.
Etika kerja dalam Islam yang perlu
diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga
menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja,
berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan
relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
(3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja,
semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan
pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba
dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap
pekerjaan.
Daftar Pustaka
Ahmad
Rofi’ Usmani. 2006. Mutiara Akhlak
Rasulullah saw.100 Kisah Teladan tentang Iman, Taqwa, Sabar, Syukur, Ridha,
Tawakal, Ikhlas, Jujur, Do’a dan Taubat. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Ariany
Syurfah. 2010. 365 Kisah Teladan Islam Sehari
Satu Kisah Selama Setahun. Jakarta: Penebar Swadaya.
Departemen
Agama. 2000. Al-Qur’ãn dan
Terjemahnya.
Jakarta: UD Mekar Surabaya.
Departemen
Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Bagian Proyek Buku
Agama
Pendidikan Dasar. 2002. Ensiklopedi
Islam.
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Fuad
Wahab, dkk. 2009. Pendalaman
Materi Kompetensi Profesional. Bandung: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Gunung
Djati. Fathurrahman al-Munawwar. 2004. Cermin
Bening Kisah-kisah Teladan, Yogyakarta: PT. LKiS, Pelangi Aksara. Jilid-1 cetakan 1. Shabir,
Muslich. 1981. Terjemahan Riyadusshalihin. Semarang: CV. Toha Putra. Nasution,
Harus. 2001. Islam Ditinjau dari Bernagai
Aspeknya.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Salim, Peter dan Yenny Salim. 1995. Kamus
Bahasa Indonesia
Kontemporer. Edisi kedua. Jakarta: Modern English
Press.
Makalah agama
(etos kerja)
Kelompok III :
Furiam
Annizya
Khairunnisa
Dwi Ananda Putri
Riska Tri Novianti
Dara Indah Pratiwi
Pratiwi Atmanegara
Yoga Anugrah Sundawa
Pembimbing :
MAINUDDIN,S.Pdi,M.Pdi
SMK KESEHATAN AL-MA’ARIF
SUMBAWA BESAR
2014-2015
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat
dan Taufik-Nya kepada saya,berupa
nikmat kesempatan dan kesehatan serta waktu yang cukup sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang “ETOS KERJA”.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman yang
ikut membantu dalam menyusun dan menyempurnakan makalah ini, sehingga makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Saya sangat menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga saya harapkan saran
dan kritiknya yang bersifat membangun yang dapat dijadikan sebagai referensi
saya dalam memperlengkap kasanah berpikir serta penyempurnaan dari makalah ini
dan juga sebagai acuan penyusunan makalah saya berikutnya.
Semoga hasil penyusunan makalah ini dapat
berguna bagi saya khususnya serta teman-teman semuanya dalam memperkaya ilmu
dan sebagai bahan kajian literatur tambahan.
Sumbawa Besar, 22 oktober 2014
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar