Minggu, 30 April 2017

makalah hadist etos kerja



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam selain diperintahkan untuk beribadah Allah memerintahkan untuk bekerja (berusaha).
Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist sudah jelas tentang pekerjaan yang baik dan bagaimana kita memperoleh rezeki dengan cara yang diridhai Allah SWT. Hal ini sangat penting sekali dibahas, karena semua orang dunia ini pasti membutuhkan makanan, sandang maupun papan. Disini pasti manusia berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua yang kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan Allah SWT semata. Sebagai umatnya diwajibkan mengembangkannya dengan baik dan hati-hati. Untuk itu Hadist tentang Etos Kerja ini sangat diperlukan demi kelangsungan umat sehari-hari.




B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka pemakalah merumskan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.      Apa Redaksi Hadist mengenai Etos Kerja Seorang Muslim?
2.      Bagaimana Penjelasan Mengenai Hadist Etos Kerja?
3.      Bagaimana Aspek – aspek pekerjaan dalam Islam?
4.      Bagaimana ciri –ciri etos kerja dalam  Islam?
5.      Bagaimana Etika Kerja dalam Islam?















BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Redaksi Hadis
حد يث أ بي هريرة رضي ا الله عنه قل: قل رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم: لأن يحتطب احدكم حز مة على ظهره خير من أن يسأل احدا فيعطيه او يمنعه
Abu hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang itu pergi mencari kayu, lalu di angkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk di jual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik di beri atau di tolak” (H.R Bukhari dan Muslim)
B.     Penjelasan Hadis tentang Etos Kerja
Sudah menjadi kewajiban manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk berusaha memenuhinya. Seorang muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Tidaklah semata hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja, melainkan harus memikirkan kepentingan kehidupannya di dunia. Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, wajiblah seorang muslim untuk bekerja.
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji, seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini, ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, al-Qur’ān diturunkan sebagai spirit hidup, sekaligus sebagai nur (cahaya) yang tak kunjung padam agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat. Dalam al-Qur’ān maupun hadis, banyak ditemukan literatur yang memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam rangka memenuhi dan melengkapi kebutuhan duniawi. Salah satu perintah Allah kepada umat-Nya untuk bekerja termaktub dalam Q.S. at-Taubah/9:105 berikut ini.
Artinya: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. at-Taubah/9: 105)

Q.S. at-Taubah/9: 105 menjelaskan, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk semangat dalam melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya. Allah Swt. akan melihat dan menilai amal-amal tersebut. Pada akhirnya, seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt. dengan membawa amal perbuatannya masing-masing. Mereka yang berbuat baik akan diberi pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan atas perbuatan yang telah  mereka lakukan selama hidup di dunia.

Sebutan lain dari ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation. Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akhirat. Namun, penekanan kepada akhiratitu lebih penting daripada penekanan kepada dunia (dalam hal ini materi). Ayat di atas juga menjelaskan bahwa Allah Swt. Memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah Swt. pasti membalas semua yang telah kita kerjakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penegasan Allah Swt. Bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.

Umat Islam dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan “tobat” saja, tetapi harus dibarengi dengan usaha-usaha untuk melakukan perbuatan terpuji yang lainnya, seperti menunaikan zakat, membantu orangorang  yang membutuhkan pertolongan, menyegerakan untuk mengerjakan alat, saling menasihati teman dalam hal kebenaran dan kesabaran, dan masih banyak lagi usaha-usaha lain yang sangat terpuji. Semua itu dilakukan atas dasar taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. dan yakin bahwa Allah Swt. pasti menyaksikan itu.
 Ayat ini pun berisi peringatan bahwa perbuatan mereka itu pun nantinya akan diperlihatkan pula kepada rasul dan kaum muslimin lainnya kelak di hari kiamat. Dengan demikian, akan terlihatlah kebajikan dan kejahatan yang mereka lakukan sesuai amal perbuatannya. Bahkan, di dunia ini pun sudah sering kita saksikan, bagaimana gambaran orang-orang yang berbuat jahat seperti pencuri, penipu, pemerkosa, koruptor, dan lain sebagainya. Banyaknya berita tentang korupsi, bagaimana koruptor dipertontonkan di ruang publik. Ini menandakan bahwa di dunia pun perbuatan kita sudah bisa dipertontonkan. Apalagi kelak di akhirat yang pasti sangat nyata dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Artinya: “Dari Miqdam ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Tidak seorang pun yang makan lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Daud as. makan hasil usahanya.” (HR. Bukhari)

Etos kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan terlaksana dengan sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi, baik karena motivasi kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi.
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya.
Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
1.        Aspek Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi dua hal yaitu :
a.         Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain.  Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
عن أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat  juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
b.         Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله ابن عمرو بن العاص.
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.

C.       Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
 عن أنس قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة “
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
1.      Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة , فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها ”
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).
D.    Ciri  –  Ciri Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain : 
1.      Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok.
2.      Kemantapan atau perfectness               
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
3.       Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
4.      Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
5.       Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai  yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
6.      Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
7.      Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
8.      Percaya diri  dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
9.       Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf  (kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian  ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.
E.     Etika Kerja dalam Islam
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.[7]
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.      Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
2.      Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
3.      Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
4.      Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5.      Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Etos kerja merupakan semangat untuk bekerja. Bekerja itu sendiri merupakan melakukan usaha kegiatan untuk mencapai tujuan. Adapun hadist mengenai etos kerja diantaranya: Hadist mengenai pekerjaan yang paling baik, larangan meminta-minta. Adapun pekerjaan yang paling baik adalah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan apabila berdagang ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang kurang disukai Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.









Daftar Pustaka

Ahmad Rofi’ Usmani. 2006. Mutiara Akhlak Rasulullah saw.100 Kisah Teladan tentang Iman, Taqwa, Sabar, Syukur, Ridha, Tawakal, Ikhlas, Jujur, Do’a dan Taubat. Bandung: PT Mizan Pustaka. Ariany Syurfah. 2010. 365 Kisah Teladan Islam Sehari Satu Kisah Selama Setahun. Jakarta: Penebar Swadaya. Departemen Agama. 2000. Al-Qur’ãn dan Terjemahnya. Jakarta: UD Mekar Surabaya. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Bagian Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Fuad Wahab, dkk. 2009. Pendalaman Materi Kompetensi Profesional. Bandung: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung
Djati. Fathurrahman al-Munawwar. 2004. Cermin Bening Kisah-kisah Teladan, Yogyakarta: PT. LKiS, Pelangi Aksara. Jilid-1 cetakan 1. Shabir, Muslich. 1981. Terjemahan Riyadusshalihin. Semarang: CV. Toha Putra. Nasution, Harus. 2001. Islam Ditinjau dari Bernagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Salim, Peter dan Yenny Salim. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Edisi kedua. Jakarta: Modern English Press.




















Makalah agama
(etos kerja)


Kelompok III :

Furiam
Annizya
Khairunnisa
Dwi Ananda Putri
Riska Tri Novianti
Dara Indah Pratiwi
Pratiwi Atmanegara
Yoga Anugrah Sundawa


Pembimbing : MAINUDDIN,S.Pdi,M.Pdi


SMK KESEHATAN AL-MA’ARIF
SUMBAWA BESAR
2014-2015

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Taufik-Nya kepada saya,berupa nikmat kesempatan dan kesehatan serta waktu yang cukup sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang “ETOS KERJA”.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman yang ikut membantu dalam menyusun dan menyempurnakan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Saya sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga saya harapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun yang dapat dijadikan sebagai referensi saya dalam memperlengkap kasanah berpikir serta penyempurnaan dari makalah ini dan juga sebagai acuan penyusunan makalah saya berikutnya.
Semoga hasil penyusunan makalah ini dapat berguna bagi saya khususnya serta teman-teman semuanya dalam memperkaya ilmu dan sebagai bahan kajian literatur tambahan.

                                                                                         Sumbawa Besar,  22 oktober 2014                                
                                                                                                           Penyusun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar