BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Masalah
Manusia pada dasarnya ingin memperoleh hasil yang memuaskan dari setiap usaha yang mereka lakukan, mereka tidak ingin mengalami kegagalan dalam segala hal, usaha dhahir perlu dilakukan, usaha bathin juga perlu dilaksanakan, karena kita tau bahwa manusia hanya bisa berusaha, Allah SWT yang akan menentukan hasilnya.
Pentingnya moral atau akhlaq dalam kehidupan diberbagai aspek sangat
diperhitungkan. Dalam dunia bisnis, dalam akhlaq merupakan faktor utama bagi
kesuksesan seseorang dalam mempertahankan usahanya. Begitu juga dalam hal
kepemmpinan sesorang,menjaga kredibilitas dan kepercayaan akhlaq pribadi akan
menjadi sorotan bagi banyak orang.
Namun tidak jarang kita humpai di liku kehidupan ini kemrosotan moral dan
akhlaq. Mulai dari pelajar hingga para pejabat negara,salah satunya adalah
perilaku tidak jujur. Mereka tidak jujur dalam berbuat ataupun berucap sehingga
melanggar nilai-nilai agama yang seharusnya dijunjung tinggi dimanapun dan
kapanpun. Al Qur’an dan Assunah sendiri banyak yang menyinggung masaah
demikian.
Rumusan masalah
Pada makalah ini pembahasan akan difokuskan kepada beberapa materi. Meskipun
tidak jarang telinga kita sudah tidak asing mendengar kata jujur namun
terkadang pemahaman kita tentang kejujuran masih pelu dipertanyakan.
Disini kita akan membahas mengenai efinisi kemudian
setelah mengetahui apa itu pengertian jujur kita akan membahas mengenai
dalil-dalil yang menunjukkan perintah untuk jujur,baik itu dalam Al Qur’an
maupun Hadist. Untuk mengetahui secara mendalam tentang kejujuran maka
pembahasan disini juga fokus tentang macam dan keutamaan kejujran dan kemudian
aplikasi kejujuran dalam kehidupan beserta dampak negatif dari orang yang tidak
jujur. Karena di masyarakat baik itu dalam lingkup pemerintahan,pendidikan
maupun aspek yang lain tidak sedikit kita jumpai minimnya sifat kejujuran yang
tertanam dalam tiap diri seseorang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kejujuran
Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui,
berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan
kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran
seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan
seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada
arti kata yang baku dan harfiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan
kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya,
orang tersebut sudah dapaat dianggap atau dinilai tidak
jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya[1].
Menurut Al-Imam ar-Roghib al-Ashfahani rohimaullah dalam
falsafah akhlaq, “Jujur adalah kesesuaian ucapan dengan apa yang tersembunyi
dan yang akan dikabarkan secara bersamaan. Apabila tidak terpenuhi syarat ini
maka bukan sebuah kejujuran.”sedangkan menurut Al-Imam al-Jurjani rohimahullah,
“Jujur adalah kesesuaian hukum terhadap kenyataan, ini adalah lawan dari
berdusta”.[2]
Dengan melihat pengertian diatas maka jujur merupakan
sifat mulia yang menunjukkan kesesuaian antara kebenaran dengan apa yang
diucapkan atau dilakukan oleh seseorang.
B. Dalil tentang kejujuran
Dalam Al Qur’an maupun Hadist banyak disebutkan ayat yang
membicarakan mengenai kejujuran dan disini hanya beberapa yang dapat mewakili
diantara sekian ayat yang membicarakan kejujuran.diantaranya adalah :
1. Surat Al-Anfal ayat 58
Dan jika kamu
khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka
kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berkhianat[3].
2. Surat An-Nahl ayat 105
Sesungguhnya yang mengada-adakan
kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan
mereka Itulah orang-orang pendusta.[4]
3. Surat At-Taubah ayat 119
Hai orang-orang yang
beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
jujur (benar)
Dalil Al-Hadist
Dalam Hadist Nabi Juga dimuat (dijelaskan) tentang kejujuran, antara lain adalah ;
1. Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA
Dalam Hadist Nabi Juga dimuat (dijelaskan) tentang kejujuran, antara lain adalah ;
1. Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلعم قال : ان الصدق يهدى الى البر وان البر يهدى الى الجنة وان الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا ان الكذب يهدى الى الفجور وان الفجور يهدى الى النار وان الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا { متفق عليه }
Artinya:
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi SAW, Beliau bersabda; sesungguhnya kejujuran itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa (pelakunya) ke surga dan orang yang membiasakan dirinya berkata benar(jujur) sehingga ia tercatat disisi Alloh sebagai orang yang benar, sesungguhnya dusta itu membawa pada keburukan(kemaksiatan) dan keburukan itu membawa ke neraka dan orang yang membiasakan dirinya berdusta sehingga ia tercatat disisi Alloh sebagai pendusta. (HR. Bukhari Muslim)[5]
2. Hadist dari Abi Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA
عن ابى محمد الحسن بن على بن ابى طالب رضي الله عنهما قال : حفظت من رسول الله صلعم دع ما يريبك الى ما لا يريبك , فان الصدق طمأنينة والكذب ريبة ) رواه الترمذى(
Artinya:
Abi Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, Ia berkata; Saya hafal (hadist) dari Nabi SAW, “ Tinggalkan sesuatu yang meragukan pada sesuatu yang tidak meragukan, maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan(hati) dan dusta adalah keraguan(hati)”. (HR Turmudzi)
C. Macam
-macam Kejujuran
Ada
beberapa bentuk atau macam kejujuran yang harus senantiasa dilakukan oleh
seorang, baik muslim atau bukan. Jujur adalah sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan kita. Apalagi dalam kontek Indonesia. Penting bagi Indonesia karena
Negara ini banyak terjadi korupsi dalam berbagai lini dan tingkatan. Baik yang
individu maupun kolektif.
Adapun bentuk, macam, dan aneka pegelompokan kejujuran. Menurut Yunahar Ilyas dalam bukunya kuliah akhlaq laffazh shiddiq dipergunakan dalam 5 makna yaitu sebagai berikut[6]:
Adapun bentuk, macam, dan aneka pegelompokan kejujuran. Menurut Yunahar Ilyas dalam bukunya kuliah akhlaq laffazh shiddiq dipergunakan dalam 5 makna yaitu sebagai berikut[6]:
1. Jujur niat dan kemauan (shidqu anniyah wa al azm)
Adalah melakukan segala sesuatu dilandasi motivasi yang
hanya mengharap ridho Allah SWT. Nilai perbuatan di hadapan Allah dinilai dari
apa yang diniatkanya. Dalam hadist yang sangat terkenal kita dapati kutipan
arti bahwasanya segala sesuatu itu tergantung kepada apa yang diniatkanya.
Selain niat tersebut diatas bahwa sebelum orang mukmin
bertindak harus menimbang-nimbang dan serta menilai apakah sesuatu yang akan
dilakukana itu akan mendatangkan manfaat atau sebaliknya. Apabila ia sudah
yakin dan mantab akan kemanfaatan dan kebenaran yang akan dilakukan maka tanpa
ragu-ragu ia akan melakukan. Kadang sesuatu yang benar itu belum tentu
bermanfaat dalam masyarakat,demikaian juga sesuatu yang bermanfaat juga belum
tentu benar. Oleh karena itu pertimbangan antara kebenaran dan kemanfaatan atas
pertimbangan harus dikedepankan.[7]
2.
Jujur dalam
perkataan (shidqu allisan)
Jujur dalam
perkataan adalah bentuk kejujuran yang paling populer di dalam asyarakat. Orang
yang berkata jujur akan mudah dipercaya oleh orang lain. Sehingga orang lainpun
merasa tenang ketika bersmanya. Dan sebaliknya orang yang berdusta akan
secara otomatis dijauhi dan dimusuhi oleh mnsyarakat. Jujur dalam perkataan
ibarat teko yang berisi. Jika isi teko itu kopi maka yang keluar juga kopi,dan
jika teko itu berisi susu maka yang keluar juga susu. Begitu juga dengan
manusia,denagn perkataan orang akan bisa menilai hati orang lain.
Rasulallah
bersabda :
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :«
اضْمَنُوا لِى سِتًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنُ لَكُمُ الْجَنَّةَ اصْدُقُوا
إِذَا حَدَّثْتُمْ وَأَوْفُوا إِذَا وَعَدْتُمْ وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِنْتُمْ
وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ
"Jaminlah kepadaku enam perkara dari dirt kalian, niscaya aku men-jamin bagi kalian surga: jujurlah jika berbicara, pemihilah jika berjanji, tunaikan jika dipercaya, jagalah kemahian kalian, tiinduk-kanlah pandangan, dan tahanlah tangan kalian" (HR. Ahmad)
3. Jujur janji (shiddiq al wa’ad)
Seorang
muslim yang jujur akan senantiasa menepati janji-janjinya kepada siapapun,
meskipun hanya terhadap anak kecil. Nabi bersabda:
عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم انه قال من قال
لصبي تعال هاك ثم لم يعطيه فهي كذبة
"Barangsiapa berkata kepada anak kecil, kemari soya beri korma ini, kemudian dia tidak memberinya, maka dia telah melakukan kebo-hongan" (HR. Ahmad)
Orang yang sering mengingkari janji juga akan kehilangan kepercayaan orang lain, bahkan akan mendapatkan label munafik, sebagaimana sabda Rasulullah:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا ائتمن خان
“Ciri-ciri orang munafik ada tiga, yaitu: jika berkata ia dusta, jika berjanji, ia ingkar, dan jika diper¬caya, ia berkhianat” (HR. Bukhari Muslim)
Sementara itu, Allah memberi pujian orang-orang yang jujur dalam berjanji. Dia memuji Nabi Ismail a.s. yang menepati janji-nya sebagai berikut:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ
إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ismail di dalam al-Qur 'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang jujur janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi” (Qs. Maryam[19]:54)
‘Azam
(keputusan hati) untuk melakukan sesuatu kebaikan dinilai sebagai
janji,menepatinya disebut wafa’(menepati janji) dan memungkirinya
disebut kadzib (bohong).[8]
4. Jujur dalam bermu'amalah (shidq al-mu 'amalah)
4. Jujur dalam bermu'amalah (shidq al-mu 'amalah)
Jujur
dalam niat,lisan dan jujur dalam berjanji tidak akan sempurna jika tidak
dilengkapi dengan jujur ketika berinteraksi atau bermu'amalah dengan orang
lain. Seorang muslim tidak pernah menipu, memalsu, dan berkhianat sekalipun
terhadap non muslim. Ketika ia menjual tidak akan me-ngurangj takaran dan
timbangan. Pada saat membeli tidak akan memperberat timbangan dan menambah
takaran.
Orang yang jujur dalam bermu'amalah juga senantiasa bersikap santun, tidak sombong dan tidak pamer (riya). Jika orang tersebut melakukan atau meninggalkan sesuatu, semuanya da¬lam koridor Allah swt. Ia tidak tamak dan serakah dalam bermu'amalah[9].
Barang siapa yang selalu bersikap jujur dalam bermu'amalah maka dia akan menjadi kepercayaan masya¬rakat. Semua orang akan merasa nyaman dan aman berinteraksi dan bermu'amalah dengannya.
5. Jujur dalam berpenampilan sesuai kenyataan (shidq al-hal)
Orang yang jujur dalam bermu'amalah juga senantiasa bersikap santun, tidak sombong dan tidak pamer (riya). Jika orang tersebut melakukan atau meninggalkan sesuatu, semuanya da¬lam koridor Allah swt. Ia tidak tamak dan serakah dalam bermu'amalah[9].
Barang siapa yang selalu bersikap jujur dalam bermu'amalah maka dia akan menjadi kepercayaan masya¬rakat. Semua orang akan merasa nyaman dan aman berinteraksi dan bermu'amalah dengannya.
5. Jujur dalam berpenampilan sesuai kenyataan (shidq al-hal)
Seorang yang jujur akan senantiasa menampilkan diri apa
adanya sesuai kenyataan yang sebenarnya. Ia tidak memakai topeng dan baju
palsu, tidak mengada ada dan menampilkan diri secara bersahaja. Rasulallah
bersabda :
عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّ امْرَأَةً
قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي ضَرَّةً فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ
تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ
ثَوْبَيْ زُورٍ
“Seorang perempuan bertanya, : Ya Rasulullah, aku mempunyai kebutuhan. Maka apakah aku berdosa jika aku berpura-pura telah dicukupi kebutuhanku oleh suamiku dengan apa yang tidak diberikan kepadaku? Rasul bersabda : orang yang berpura-pura tercukupi dengan apa yang tidak diterimanya sama dengan orang yang memakai dua pakaian palsu” (HR Bukhari)
Maksud hadits ini adalah orang yang berhias dengan sesuatu yang bu-kan miliknya supaya kelihatan kaya, ia sama seperti orang yang memakai dua kepribadian. Orang yang memiliki sifat shidq al-hal tidak akan memak-sakan diri untuk memiliki dan menik-mati sesuatu yang di luar jangkauan kemampuannya. Dia sudah merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang telah dimilikinya sembari berikhtiar untuk menggapai keinginan-keinginan yang diharapkannya[10].
Yazid al harits berkata dalam sa’id hawwa “ apabila batin
seorang hamba sama dengan zhahirnya maka itu adalh kondisi yang seimbang. Jika
batinya lebih utama dari dzahirnya maka itu adalah keutamaan. Jika dzahirnya
lebih utama daripada batinya maka itu adalah kedzaliman”[11]
. maka dari itu hendaknya manusia lebih mengutamakan batinya daripada bentuk
dzahirnya,karena penampilan sesorang terkada menipu dan sebatas pencitraan
belaka.
Menurut sa’id hawwa dalam bukunya Intisari Ihya’
Ulumudin Al Ghazali “Mensucikan Jiwa disebutkan makna satu lagi dari kata
shiddiq yaitu shiddiq dalam berbagai maqam agama. Dan ini merupakan shiddiq
yang tingkatanya paling tinggi, seperti shiddiq dalam khauf, raja’, zuhud,
ridha, tawakkal, cinta dan lain sebagainya.[12]
Berbagai derajat shiddiq ini tidak ada batas akhirnya. Bisa
jadi seorang hamba berperilaku shiddiq dalam sebagian perkara tetapi tidak
demikian pada perkara yang lainya. Jika ia berperilaku shiddiq pada semua
perkara maka ia adalah orang yang benar-benar shiddiq. Ibnu al musayyab berkata
dalam Sa’id Hawwa(1998)” aku tidak yakin bahwa sifat-sifat ini dapat berhimpun
kecuali pada diri rasulallah saw”[13]
C. Keutamaan kejujuran
Akhlaq atau Moral (jujur) merupakan
faktor utama bagi kesuksesan seseorang atau perusahaan yang bertahan lama.
Kalau anda membaca buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia anda akan
mendapati bahwa mereka mempunyai karakter yang kuat dan bertingkah laku yang
baik. Demikian juga dengan perusahaan yan dapat bertahan puluhan hingga ratusan
tahun mereka menganut perilaku inti yang dijadikan moral penggerak perilaku
organisasi.[14]
Kesuksesan yang diraih seseorang di
dunia tidak akan lepas dari perilakunya setiap hari secara individu maupun
perilaku sosial. Perilaku jujur tidak hanya akan mendatangkan kebaikan didunia
saja,tapi kebaikan yang lebih besar akan di tuai ketika nanti di akhirat.
Seperti di ungkap dalam hadist riwayat
bukhari dan Muslim dalam Imam Nawawi Syarah Dan Terjemah Riyadhusshalihin Jilid
1 bahwa kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan mengantar
kepada syurga.[15]
Secara implisit Rasulallah SAW memerintahkan umatnya untuk berkata dan berbuat
jujur,karena kejujuran akan mendatangkan kebaikan.
Sifat jujur merupakan tanda sempurnanya
keislaman, timbangan keimanan, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik
sifat tersebut. Karena itu orang yang jujur akan mendapat tempat yang tinggi
didunia maupun di akhirat. Dengan kejujuran seseorang akan mencapai derajad
orang-orang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Tidaklah kita dapati orang yang jujur
melainkan orang lain akan senang denganya,memujinya. Baik kawan maupun lawan
merasa tenteram denganya. Orang yang jujur diberi amanah berupa harta, hak-hak,
dan juga rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan ataupun kekeliruan. Maka
kejujuranya dengan ijin Allah akan menolongnya.
D. Akibat Orang
Yang Tidak Jujur
Lawan dari jujur adalah dusta . dusta termasuk dosa-dosa
yang amat buruk dan aib yang keji. Seperti dikutip oleh sa’id hawwa(1998) bahwa
Abu Bakar Asshidiq ra berkutbah setelah wafat Rasulallah saw. Ia berkata”
rasulallah pernah berdiri ditempatku ini pada tahun pertama-kemudian Abu Bakar
menangis-seraya bersabda “ sesungguhnya dusta membawa kepada
kedurhakaan,sedangkan kedurhakaan menyeret kepada ke neraka dan sesungguhnya
seseorang berdusta hingga ditulis disisi Allah sebagai pendusta”[16]
Bentuk bentuk ketidak jujuran di ketegorikan menjadi bebrapa
sifak khusus yaitu : khianat,mungkir janji, kesaksian palsu, fitnah dan
menggunjing.[17]
Sifat yang demikian ini senantiasa harus dihindari bagi tiap-tiap orang muslim.
Karena sifat-sifat semacam ini akan mendatangkan keburukan baik itu keburukan
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Orang lain yang bersama orang
yang memiliki sifat semacam ini tidak akan percaya dan akan dijauhi dalam
bersosial di masyarakat.
Orang yang berperilaku demikian tidak hanya akan merasakan keburukan di dunia
tapi balasan keburukan juga akan dirasakan di akherat. Oleh karena itu
pendidikan untuk menjauhi segala macam keburukan tersebut harus dimulai sejak
dini terutama dalam lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Jujur merupakan
sifat mulia yang menunjukkan kesesuaian antara kebenaran dengan apa yang
diucapkan atau dilakukan oleh seseorang.
2. Banyak di jumpai dalil dari Al
Qur’an maupun Al Hadits yang membicarakan masalah kejujuran.
3. Macam-macam jujur (shiddiq) seperti
yang di ungkap diatas ada 5 makna:
a.
Jujur
dalam perkataan
b. Jujur dalam niat dan kemauan
c.
Jujur
dalam bermuamalah(pergaulan)
d. Jujur dalam berjanji
e.
Jujur
dalam kenyataan
Namun
terdapat satu tambahan menurut sa’id hawwa yaitu jujur dalam menempuh tangga-
tangga agama.
4. Orang yang berperilaku jujur akan
senantiasa mendapat kepercayaan dari orang lain. Orang lain akan merasa
tenteram dan nyaman bersama orang yang berperilaku jujur.
5. Sedangkan orang yang berperilaku
terbalik dari jujur akan senantiasa di jauhi oleh orang lain. Irang lain akan
senantiasa merasa was-was bersamanya.
6. Orang mukmin harus senantiasa
menjadikan jujjur sabagai pakaian dimanapun dan kapanpun ia berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar